Langsung ke konten utama

Salaman dengan Kyai Said

           (Sumber foto: JunaidMahbub)

Woks

Sejak kecil, saat bapaknya masih ada Ujang selalu didendangkan lagu tombo ati. Syair karya Sunan Kalijaga itu membuatnya terpesona. Apalagi sampai bait nomor tiga yaitu "wong kang sholeh kumpulana", berkumpulah dengan orang-orang sholeh. Sejak saat itulah hasratnya untuk mencintai orang sholeh begitu dalam. Sehingga ia tidak mau berkumpul dengan orang-orang salah. Ibunya paham betul bahwa keinginan anaknya untuk bersekolah sangatlah kuat. Selain demi cita-cita, ia juga selalu berkeinginan untuk berdeda dengan teman-teman lainya.

Ujang hanya bisa pasrah saat ia tidak bisa melanjutkan sekolah. Sebab biaya tak mampu menjawab keinginanya, akhirnya ia mondok di dekat rumahnya. Pengajian dari ilmu fiqih, gramatikal arab, hingga adab selalu menjadi rutinitasnya. Sungguh beruntung walau ia tidak seperti anak beruntung lainya. Tapi ia begitu menikmati pengajaran yang ada di pondok, hidup sederhana, laku sabar, banyak tirakat dan selalu bersama teman adalah aktivitasnya.

Suatu hari saat pengajian berlangsung kyainya bercerita bahwa di era ini ada orang alim yang bisa kau mintakan berkahnya. Dia bernama Kyai Said Aqil Siradj. Kyai Said adalah ulama, pemimpin organisasi, guru besar dan pendidik para santri. Keilmuanya super banyak tahu, mulai dari sejarah, kalam, gramatikal, tafsir, fikih, sampai nasab kenabian. Orangnya sederhana dan tentunya bergaul dengan siapa saja. Mendengar pemaparan kyainya itu Ujang tersentak di mana ia dapat bertemu dengan kyai Said? mungkin untuk sekedar bersalaman dengan beliau.

Tumpukan kitab kuning yang ada dipondok Ujang buka-buka lagi. Ia mutholaah kembali hasil dari setiap pengajian. Selama itu kadang ia teringat cerita kyainya tentang kyai Said. Dalam sebuah redaksi dulu ada beberapa sahabat yang mencintai Rasulullah SAW seperti Ukasyah bin Mihshan yang meminta qishas kepada Nabi, padahal ia hanya ingin memeluk tubuh mulia Nabi. Lalu ada juga cerita Uwais al Qorni yang rela berjalan menggendong ibunya dari Yaman demi ingin bertemu Nabi. Secuil kisah itulah yang terus terbang dipikiran Ujang. Kapan ia bisa bertemu Kyai Said. Orang yang langsung ada dalam ruang hatinya walau ia belum tahu seperti apa beliau.

Ujang begitu gaptek, bahkan untuk handphone pun ia tak punya. Kadangkala ia bertanya kepada temanya untuk mencari tahu apakah kyai Said itu ada? Jika ada lalu seperti apa. Jangan sampai beliau hanya sebuah dongeng dari kyainya saat mengaji. Suatu saat ia mencari tahu lewat handphone temannya. Ujang begitu kegirangan saat tahu wajah kyai Said dalam bilik handphone temannya itu. Betapa harunya ia, wajah teduh dan penuh keilmuan itu memancar begitu terang. Pantas saja kyainya bercerita tentang beliau. Kini tidak salah Ujang mengidolakanya. Bahkan sosok beliau sampai terbawa mimpi.

Suatu ketika ada sebuah pengajian umum yang kebetulan pengisi ceramahnya adalah Kyai Said. Ini momen emas bagi Ujang untuk dapat bersalaman dengan beliau. Sekian lama menunggu waktu akhirnya tiba juga. Foto-foto beliau terpampang di baligho, spanduk dan panggung. Walau hanya dengan mengayuh sepeda akhirnya ia sampai juga. Alangkah senangnya hati Ujang bisa hadir di acara itu. Dengan penuh semangat ia dapati kursi paling depan. Ia berharap dapat bersalaman dengan beliau. Tak tanggung-tanggung, Ujang meminjam HP milik temanya. Selain berharap dapat salaman, Ujang pun berharap dapat berfoto bersama beliau. Foto itu nanti ia pajang di dinding rumahnya besar-besar. Ia akan terus pandangi ulama besar itu. ia menyetir sebuah kalam "Sesungguhnya memandang wajah ulama adalah sedekah". Pokoknya malam itu adalah hari bahagia bagi Ujang. 

Malam semakin pekat. Anak-anak kecil sudah semakin mengantuk. Gema shalawat juga sudah berhenti. Tanda-tanda kedatangan kyai Said juga belum tampak. Ujang semakin was-was. Dalam hatinya berbisik halus"Jangan-jangan Kyai Said tidak bisa hadir". Tapi ia mencoba untuk optimis. Setidaknya dengan berfikir positif ia bisa tekan rasa kecewa sekecil mungkin. Orang-orang masih bertahan di antara kursi plastik itu. Walau dengan mengantuk mereka masih setia. Sepertinya niat mereka sama seperti Ujang. Menunggu sang Kyai hadir. Acara inti pun dimulai. Pembawa acara membuka sekaligus menginfokan bahwa Kyai Said berhalangan hadir. Beliau memberi kabar bahwa ia sedang sakit dan dirawat di Kalimantan. Mendengar kabar itu hati Ujang sedikit rapuh. Kecewa pasti, tapi apalah daya. Setidaknya ia telah berusaha. Semoga saja langkah panjang sepeda itu dicatat sebagai amal baiknya.

Beberapa teman Ujang mendatanginya. Mereka memberi semangat kepadanya, "sudahlah Jang, tak usah sedih gitu nanti juga ada momen pengajian lagi yang menghadirkan beliau". Belum juga Ujang menjawab, temanya mencoba menghiburnya, "iya Jang santai saja. Kamu ini kecewa segala, kaya baru ditinggalkan pacar". Mereka pun memecah suasana dengan gelak tawa. Akhirnya Ujang pun pulang dengan kepala tertunduk. Ia terus mengulang-ulang pengajianya bahwa tanda orang cinta itu adalah selalu menyebut-nyebut namanya. 

Beberapa hari yang lalu suasana Nasionalis di desa begitu terlihat. Bangunan dan tembok-tembok bersolek. Cat warna warni menghiasa setiap jalan. Umbul-umbul juga berkibar mengiasi sepanjang jalan. Ujang sempat heran apakah ada perayaan 17-an ke dua, padahal bulan Agustus telah berakhir. Saya ia tanya beberapa warga di sana, ternyata desa tersebut menyelenggarakan sholawat kebangsaan. Acara sholawatan bersama seorang habib dan pencerahmanya adalah Kyai Said. Ujang girang lagi. Ini kesempatan yang tak boleh disia-siakan lagi. Semoga kali ini keberuntungan memihak padanya. Bahkan pria itu sempat berpikir demi kyai Said hidupnya seperti pasar dan lotre.

Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Ujang berangkat seperti biasa naik sepeda onthel tua warisan bapaknya. Sampai di tempat ia kebingungan karena saking padatnya jamaah. Kali ini Ujang dikalahkan oleh waktu. Sesungguhnya memang waktulah yang selalu mengalahkan kita, Ujang menyadari itu. Dan kini terbukti ia berada di barisan paling belakang. Waktu malam, semakin ramai Ujang hanya bisa berdesakan dengan lainya. "Wah ini bakal sulit untuk ku tembus jamaah yang begitu banyaknya", ujar Ujang. Ia mencoba datangi petugas pengamanan apakah ia bisa bersalaman dengan Kyai Said. Katanya salah seorang petugas bisa mas, nanti jika ada waktu. Nyatanya pengajian itu selesai sekitar pukul 12 malam. Dan Kyai Said beranjak turun meninggalkan panggung. Ujang berpikir ini kesempatan ia dapat bersalaman dengan beliau. Mungkin dengan sedikit usaha berdesak-desakan dengan yang lain ia dapat mewujudkan keinginanya.

Ia pun segera beranjak. Tapi sayang pagar pengamanan begitu kokoh sehingga tak mampu ia tembus. Padahal kyai Said sudah sangat di dekatnya. Tapi mau bagaimana lagi, waktu juga tak mungkin ia kejar. Ia tak mau jadi individualis yang mengejar nafsu. Jika tak berkesempatan, ya tak mengapa. Mungkin ada hari esok yang akan memihaknya. Baru saja ia akan beranjak pergi seseorang dengan seragam tentara menyingkirkan tubuh kecilnya. Dorongan dari segala penjuru membuat tubuhnya tak kuasa bahkan hingga terjatuh. Ujang berpikir apakah ini yang disebut sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah tak mampu bersalaman, jatuh pula. Akhirnya laki-laki polos itu pulang kembali dengan tangan hampa.

Tidak selamanya rindu harus bertemu, begitu kata seniornya di pondok. Walau pada kenyataanya pertemuan adalah bayaran dari segala usaha. Tapi pertemuan hanya sebuah momen dan tempat. Itu semua soal waktu, katanya. Lelaki itu pun pulang meninggalkan kesunyian. Keesokan harinya seorang santri senior menyodorkan sebuah undangan. Di sana tertulis sebuah acara yang penceramah utamanya adalah kyai Said. Namun tampak di wajah lelaki itu seperti rasa pesimis, apalagi tempat acara yang begitu jauh. "Sudahlah jangan banyak pikiran, ikut saja. Lagian kan itu delegasi dari pondok", ajak seniornya itu.

Dengan mobil lawas milik kyainya, mereka berangkat ke negeri tapal kuda itu. Tentu lagi-lagi berharap dapat bersua barokah dari kyai Said. Kali ini tak boleh gagal, begitu harap-harap dari Ujang. Sesampainya di sana, seperti biasanya jamaah telah memenuhi tempat acara. Dan sayang sekali kini Ujang datang terlambat. Langsunglah ia masuk ke areal acara dan kini ia berada jauh dari panggung utama. Setelah acara usai ia langsung bergegas menuju ke depan panggung. Ia bertekad menjadi orang pertama yang bisa bersalaman dengan beliau. Kyai Said sudah di depan matanya. Ia pun begitu kegirangan, "ya Allah beliau sudah berada sedekat ini", ujarnya. Baru saja tangannya ia ulurkan seseorang bertubuh besar mencegahnya. "Mohon beri jalan..mohon jangan bersalaman". Pagar manusia itu lagi-lagi memupuskan keinginanya. "Ya Tuhan mimpi apa aku semalam, padahal tinggal selangkah lagi". Kyai Said pun semakin jauh dan tak terjangkau. Ujang pun hanya bisa diam mematung. Perjalanan yang jauh dan melelahkan itu tak membuahkan hasil. Kini ia mulai membenci segerombol orang dengan busana tentara itu. Mereka tak lain adalah penghalang. Kini Ujang memutar otaknya. Ia berpikir harus dengan cara licik saja agar semua dapat terwujud.

Saat ia berada di pondok. Lelaki itu benar-benar melancarkan aksinya. Ia mempersiapkan segala sesuatu sesuai dengan aksi para ninja, lengkap dengan senjata tangan dan penutup kepala. Ia ikuti video dari hp milik temanya. Ini sudah tidak ada kesempatan lagi. Rasa tekad dan niatnya sudah bulat. Mental baja telah ia asah. Ia siap jika harus berhadapan lagi dengan para penjaga itu. Saat semua sudah siap, Ujang melancarkan aksinya. Ia tidak tahu bahwa hari itu juga ada tamu dari luar kota yang ingin menemui kyai nya. Tak peduli rasanya biar saja, ia acuh terhadap semua kondisi. Rasa sakit hatinya bak Joker di malam hari. Baru saja mulai, seseorang memergoki Ujang. "Hei kamu maling ya?" Suara gertakan itu mengagetkan Ujang. Ia tidak mempersiapkan sejauh itu jika ia dituduh maling. "Ini gawat jika ketahuan", gumam Ujang dalam hati.

Keamanan datang dengan gesit. Menerobos ke dalam ruangan itu. Ternyata benar saja, sebelum Ujang memberitahukan siapa dia gertakan dan pukulan itu lebih cepat mendarat ke tubuhnya. Pukulan demi pukulan masuk ke perutnya, menghantam wajah dan mememarkan bibirnya. Tangan nya ia lambaikan, sambil memohon ampun. "hei ini aku Ujang, aku bisa jelaskan semua", tegas Ujang. Tak ada ampun bagi pencuri di pondok. Sekarang kamu bisa jelaskan di kantor keamanan. Bila perlu kami panggilkan pak Kyai. Saat Ujang hampir tak berdaya, saat itulah ia digelandang ke kantor. Sepertinya akan lebih banyak lagi orang-orang yang murka kepadanya. Ujang begitu khawatir. Keringat dingin berpadu dengan gemetar hinggap pada dirinya. Ia begitu takut jika ibu dan kyainya tahu soal ini. Tapi sesungguhnya tak ada niatan apapun terhadap semua yang orang pikirkan tentangnya. Ia hanya ingin bertemu kyai Said.

Suara sirine mobil patroli terdengar nyaring. Kerasnya suara itu semakin dekat ke arah pondok. Ketakutan Ujang semakin bertambah. Mungkin tamatlah ia sekarang. Sudah jatuh tertimpa tangga. Polisi sudah siap membawanya. Ia membayangkan wajahnya tercoreng sambil membawa nama pondok. Kyainya akan malu dan ibunya akan menangis. Borgol di tangan akan mengiasi, seperti gelang tak berperi. "ada apa ini?" tanya kyainya. "Awas jangan main hakim sendiri, kalian ini memalukan saja". Semua santri tersentak dan mematung, ternyata kyainya itu bersama Kyai Said. Sedangkan mobil polisi dan mobil di belakang adalah pengawal yang mengawal kedatangan Kyai Said ke pondok tersebut. Kata kyainya ini memang dadakan. Saat disebuah majelis kyai Said ingin bersilaturahmi ke pondok tersebut. Hingga di sanalah Ujang begitu sumringah. Tapi kenyataan bahwa ia harus terkena hukuman belum berakhir.

Ia meminta agar memberi penjelasan terlebih dahulu di depan kyainya. Bahwa ia tidak bersalah. Ia tak ada maksud sedikit pun untuk mencuri di pondok. Ia hanya ingin bertemu dengan kyai Said. Salaman lebih tepatnya, mengoyak keberkahan dari pohon dan dan kealimanya. Selama Ujang memberikan penjelasan itu ia akhirnya di terima oleh kyainya. Lebih lagi ia tidak hanya puas untuk bersalaman dengan beliau, melainkan diajak berfoto pula. Alangkah senang hatinya. Orang yang selama ini ia mimpikan dapat bertemu ternyata bisa ia pandangi dengan sangat dekat. Bahkan tidak perlu jauh ke sana ia pergi, lebih lagi harus berhadapan dengan para pemasang badan itu. Kata Kyai Said, "kamu itu terlalu bodoh. Bahkan jika ingin barokahpun tidak harus ke sana yang jauh. Kyai mu itu lhoo sumber barokah, dan beliau sangat dekat denganmu". Ujang pun tersipu malu.

the woks institute, 16/8/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde