Langsung ke konten utama

Lampion Masa Depan


Woks

Di awal tahun 2020 buku ini lahir dari hasil sayembara penulisan cerpen bertemakan harapan. Buku ini merupakan karya antologi cerpen pertama ku dalam sejarah kepenulisan. Diterbitkan oleh penerbit Pustaka Tunggal yang beralamatkan di Kp Kedondong, Sunter Jaya Jakarta Utara. Aku sangat senang saat cerpen pertamaku ini bisa masuk dalam buku antologi tersebut. Sebab selama ini aku belum begitu menikmati dengan genre tulisan sastra. Tapi saat buku ini berada di tanganku saat itu pula aku langsung belajar untuk memahami lintas genre terutama cerpen.

Sesuai dengan judul pada sampul depan buku ini bercerita tentang harapan. Di mana harapan-harapan itu diilustrasikan seperti sebuah lampion yang diterbangkan ke langit dengan segenap cahaya kemilaunya. Hal itu adalah tanda bahwa kita tidak boleh menyerah walaupun lampion berakhir tanpa bekas. Setidaknya lampion itu telah terbang membawa doa yang akan disampaikan kepada Tuhan yang maha indah. Semoga saja doa yang diterbangkan itu akan terkabul.

Dalam buku ini 38 kontributor telah menarasikan cerita pendeknya dengan apik sehingga pembaca akan dibuat penasaran harapan apa yang mereka catat dalam tulisan tersebut. Walaupun rata-rata penulisnya adalah kalangan SMA akan tetapi tidak mengurangi gaya dan cerita cerpen tersebut. Mayoritas dari penulis cerpen ini adalah para pemenang lomba menulis yang telah malang melintang dalam dunia kepenulisan terutama bergenre sastra.

Isi buku ini begitu menarik karena gaya penulisan serta cerita yang berbeda membuat semakin berwarna. Pembaca akan diajak betapa menariknya saat seseorang pertama jatuh cinta lalu ia berharap suatu saat akan menikah dengan gadis pujaan hatinya dan membesarkan anak-anak mereka bersama. Hidup dalam kesederhanaan dan tidak terasa anak-anak mereka telah tumbuh dewasa. Ada juga yang bercerita tentang seseorang yang tega menelantarkan orang yang dicinta ke samudera lepas hingga akhirnya ia diambang optimistis dan putus asa. Ada juga yang bercerita tentang harapan menjadi pumusik dengan segala lagu-lagu nya. Hingga harapan itu sedikit demi sedikit ia mulai mewujudkanya.

Ada harapan yang berbeda dari lainya yaitu berharap suatu saat dapat menyelamatkan bumi dari kehancuran. Di mana ia sangat ingin menjadi pelestari lingkungan. Ia begitu miris melihat bumi yang kini begitu gersang sehingga harapnya adalah menjadi penyelamat bumi. Ada juga yang bercerita ingin menjadi penulis yang handal. Sebab baginya menulis adalah dorongan jiwa. Menjadi penulis adalah menjadi manusia abadi minimal untuk dirinya dan untuk pengetahuanya. Tentu dari banyaknya penulis tersebut tema dalam cerpen di buku ini masih didominasi oleh topik beraroma cinta dan asmara atau sedikit dibumbui benci. Serta masih banyak lagi tema lainya yang mesti harus anda baca. Mari membaca temukan imajinasinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde