Langsung ke konten utama

Fakultas Warung Kopi


Woks

Awal mula buku ini hadir yaitu ketika beberapa orang kumpul untuk membahas deklarasi, pergantian ketua dan bedah buku. Bertempat di warkop Bagong kami membingcang topik itu dengan hangat. Singkat cerita satu di antara kami berseloroh alias memberi challenge untuk membuat buku sederhana dengan waktu yang cukup singkat yaitu dua minggu. Akhirnya kami memutuskan untuk mengambil tema kopi dan kroniknya. Tema fakultas warung kopi yang juga menjadi cover buku ini tak lain untuk menjelaskan kepada kontributor bahwa tema seputar kopi itu luas. Selain itu banyak di antara kita yang tiap hari ngopi tapi tidak pernah mendapat apa-apa dari kegiatan itu. Sehingga kita mencoba bahwa ngopi itu benar-benar ngolah pikir atau ngopeni ati. Darisanalah akhirnya ide untuk membuat buku fakultas warung kopi terbentuk sebagai sebuah produk berpikir.

Buku antologi ini terbit pada akhir September 2019 dengan kontributor yaitu crew LPM Aksara FUAD IAN Tulungagung. Buku antologi tersebut merupakan karya pertama dari LPM Aksara, walaupun masih dalam balutan kesederhanaan. Setidaknya melalui buku tersebut kita kalangan ahlul qodimin mewariskan karya untuk diteruskan estafet kekreatifanya. Kita juga berharap untuk mencoba mengikis generasi wacana dan memutus mata rantai kemalasan dalam tubuh pemuda.

Buku FWK ini berisi tulisan teman-teman Aksara yang membahas seputar kehidupan, sosial, politik, psikologi, budaya, dan tentunya tradisi ngopi. Sejumlah 14 penulis menarasikan ngopi dengan beragam corak seperti halnya manfaat kopi, efek buruk, filosofi kopi hingga kopi sebagai komoditas yang tak akan pernah mati.

Warung kopi sebagai tempat ngopi menjadi markas utama seseorang dalam mencari hiburan. Selain itu beberapa orang menggunakan warung kopi sebagai tempat berdakwah dan berdialektika. Tempat ini cukup komplek untuk bisa dimasuki berbagaimacam hal salah satunya dengan diskusi dan ngobrol perkara kehidupan. Warkop tidak hanya sekedar tempat tapi ia adalah ladang usaha untuk mengangkat perekonomian. Dari warkop kita akan jumpai banyak orang dengan segala macam tujuanya.

Dalam narasi ini juga dibahas mengenai perjuangan perempuan dalam melawan stigma. Menurut sebagian orang perempuan ngopi hingga larut malam itu tidak baik. Dari pernyataan tersebutlah terasa diskriminasi memang masih subur. Memang beberapa analisis masih menganggap bahwa warkop, kopi, dan rokok merupakan bentuk patriarki yang mengakar. Sehingga peran perempuan selalu terpinggirkan di sana.

Selain itu ada juga kisah seseorang membenci kopi bukan karena rasanya yang pahit atau harganya yang mahal akan tetapi ada kenangan pahit yang tertinggal di warkop. Ia merasa saat mengingat kopi langsung tertuju pada momen yang menyakitkan itu, ya dia dulu mengalami putus hubungan dengan pacarnya. Dari tragedi itulah ia sedikit traumatik dengan kopi, jika di warkop pun rasanya selalu ingin pulang.

Walau demikian warkop tidak bisa dipandang sebelah mata. Di tempat itulah kita pernah ditempa, ditempat itu pula sejarah baru pernah tercapai. Di sana kita bisa belajar bahwa di manapun tempatnya pasti mengandung pendidikan untuk kita belajar menghayati kehidupan manusia yang plural ini. Belum lagi kita belajar dengan secangkir kopi bahwa darinya kita bisa berkumpul dan berteman. Rasa pahitnya menyiratkan bahwa kehidupan ini keras (pahit) sehingga kita mencoba untuk terus mencari penawarnya yaitu gula (hiburan).

Kopi tidak bisa dipisahkan dalam tradisi masyarakat. Salah satunya tradisi menulis, di mana dulu ulama menjadikan kopi sebagai teman saat mereka menulis kitab yang berjilid-jilid itu. Sekarang kopi sudah semakin banyak variasi rasanya sehingga kopi sudah tidak terkesan pahit dan itu-itu saja. Justru dari kopilah seseorang mampu berinovasi lebih dalam melihat pasar. Sekarang kopi diterima oleh siapa saja termasuk warkop sebagai tempat menyalurkan kebebasan. Di warkop kita boleh merokok, mencari wifi, menyanyi, bernegosiasi hingga berpuisi. Kopi sudah menjadi bagian kehidupan bahkan tak jarang orang-orang seperti terkena candu di mana hampir setiap pagi hingga malam hari pasti ngopi. Kopi sudah seperti agama yang selalu dibutuhkan, tanpa kopi rasanya semu dunia ini.

Kopi yang diseduh dan diminum akan meninggalkan ampas sedangkan buku yang dibaca akan meninggalkan pengetahuan. Kopi yang disruput akan menghangatkan sedangkan sebuah buku akan meninggalkan perdaban. Mari berkarya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde