Langsung ke konten utama

Tentang Sebuah Kehilangan


Woks

Sepanjang hidup kita pasti akan menemui momen kehilangan. Entah kehilangan seseorang, benda atau ingatan bisa saja terjadi. Kehilangan apapun pada akhirnya akan melahirkan luka. Sedikit saja luka menganga ia tetap terasa sakit. Maka dari itu kehilangan memang tidak mengenakan terlepas karena diri sendiri atau karena orang lain.

Saya sendiri tentu pernah merasakan kehilangan mulai dari cash hp, radio, uang, sepeda dan bahkan seseorang yang sudah saya anggap guru. Saya tidak bisa membayangkan betapa air mata menyambut kehilangan sosok peneduh itu. Sosok yang selalu memberi motivasi dan ilmu baru agar saya terus melangkah. Sosok tersebutlah sangat istimewa hingga semua petuah beliau saya simpan dalam hati.

Jangankan kehilangan seseorang untuk sekedar benda seperti cash hp atau jam saja kadang kita begitu kecewa. Jika karena diri sendiri yang teledor mungkin wajar, karena sebagai bayaran atas sikap kita. Tapi lain lagi karena dicuri atau disembunyikan. Pastinya alasan kedua ini karena ada campur tangan orang tak bertanggungjawab. Betapa rasa marahnya orang yang kehilangan itu. Kehilangan sekecil apapun tak akan berarti apa-apa bagi si pencuri beda dengan yang kehilangan, semua punya tempat istimewa di ruang hatinya.

Apa tidak bisa membayangkan psikologis orang yang kehilangan. Pastinya remuk hatinya, walaupun hati tak bisa berucap. Tapi pada akhirnya ikhlas juga, istilahnya memaafkan iya tapi lupa tidak. Tapi mau bagaimana lagi kehilangan bisa saja dihadirkan Tuhan sebagai bentuk pelajaran bagi kita. Tentang sikap kehati-hatian dan selalu waspada. Serta banyak lagi kemungkinan yang terjadi.

Bisa jadi kehilangan adalah cara untuk kita bersyukur atau melahirkan sikap ikhlas bahwa semua bukan milik kita. Bahwa semua hanya milik hak guna pakai. Tinggal bagaimana kita menyikapi kehilangan itu. Hilang memang bisa menjadi dua kemungkinan jika kembali ya pergi selamanya. Tapi apa pula yang perlu disesali semua hanya tinggal cerita. Maka pantaslah jika kita tidak perlu larut dalam kehilangan itu.

Semoga saja semua momen kehilangan yang pernah kita lalui akan menjadi saksi betapa pentingnya semua itu. Betapa bagaimana pun kehilangan akan membuat kita tersiksa. Jika kita kehilangan barang mungkin masih bisa kita cari. Tapi jangan sampai kita kehilangan Allah swt, Tuhan semesta alam. Termasuk jangan sampai kehilangan hatimu.

the woks institute l 16.9.20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde