Langsung ke konten utama

Membangun Jalan Sunyi Lewat menulis: Potret Suprawoto

               (Foto: Koran Jawa Pos)

Woks

Orang mungkin belum terlalu mengenal siapa Dr. Drs. Suprawoto, SH, M. Si. Beliau adalah seorang bupati yang masih memimpin di Kabupaten Magetan Jawa Timur hingga saat ini. Kiprah pria kelahiran 3 Februari 1956 itu perlu saya tuliskan sebagai jalan semangat untuk kita terus menulis. Lantas orang bertanya sebagai seorang politikus, bupati dan pejabat beliau pasti sibuk. Apa mungkin seorang bupati bisa menulis? jawabanya akan kita ulas bersama.

Suprawoto seperti yang dimuat di Jawa Pos adalah Bupati Magetan. Kecintaan beliau pada dunia menulis ternyata sudah lama sehingga saat jadi bupati pun beliau masih aktif menulis. Bahkan saat ini beliau aktif mengisi kolom di Jawa Pos Radar Madiun, termasuk Majalah berbahasa Jawa Panjedar Semangat hingga 11 tahun lamannya. Salah satu kolomnya yang menarik kita baca adalah berjudul "Pemilu 2019 (jalan dipersimpangan)", tulisan tersebut adalah komentar atas pemilu 2019 yang begitu carut marut padahal kita sudah berpengalaman sejak tahun 1955.

Sebagai seorang bupati atau pemimpin masyarakat beliau termasuk teladan. Bagaimana tidak sosok pengagum Dahlan Iskan itu adalah segelintir pemimpin yang bergelut di dunia menulis. Baginya menulis adalah memberi ide sekaligus menyuguhkan gagasan dengan spektrum yang luas. Jika tidak menulis maka ia akan tidak enak sendiri. Bagi beliau menulis sudah jadi candu sehingga nulis bukan lagi sekadar rutinitas. Lalu kapan beliau menulis? beliau menulis bisa kapan saja, bahkan pernah saat berada di dalam kerata saat perjalanan ke Surabaya. Seperti penulis lainya beliau pun sering mengalami writer block, akan tetapi beliau punya tips saat kondisi itu datang yaitu jalan-jalan ke alun-alun atau berolahraga.

Kecintaan beliau pada dunia tulis menulis telah mengantarkanya mendapat rekor Muri pada karya Otobiografinya yang berjudul "Dalan Uripku". Tulisan yang mengupas kisah hidupnya itu ditulis dalam bahasa Jawa. Otobiografinya itu pertama 2 eksemplar, kedua 5 ribu eksemplar semua habis bukan karena dijual komersil, melainkan ia distribusikan ke perpustakaan seluruh Jawa timur. Cara inilah yang menurut beliau sebagai jalan sedekah anti meanstream. Tidak hanya itu bukunya yang berjudul Government Public Relations: Perkembangan dan Praktik di Indonesia, pernah dibedah dalam acara yang dihelat oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Buku tersebut berisi pengalaman ketika menjadi humas dan Sekjen Kemenkominfo.

Bercerita tentang Suprawoto tentu kita mengingat sejarah para founding father dulu. Seperti halnya Suprawoto mereka pun tak lain adalah pemimpin besar yang juga menulis di antaranya kita mengenal HOS Cokroaminoto, Tan Malaka, M. Natsir, Ir Soekarno, Drs Moh Hatta, Ki Hadjar Dewantara, Dewi Sartika, RA Kartini, Nyai Walidah Ahmad Dahlan, Sariamin Ismail (Selasih), Fatimah H. Delais, Adlin Affandi, Sa'adah Alim (catatan Ajip Rosidi, 1991). Tokoh-tokoh tersebut adalah salah satu di antara banyak pemimpin yang turut mencerahkan dunia lewat menulis. 

Kita juga ingat para pemimpin dunia seperti Mandela, Gandhi, Luther King Jr, PM Inggris Winston Churchill, Alexander Boris dan masih banyak lagi. Mereka juga menulis sebagai sebuah jalan pengetahuan dan pembebasan. Bahkan Bung Hatta sering kita membaca dan mengatakan bahwa menulis untuk menjaga kesehatan jiwa. Tanpa bacaan dan menulis manusia hanya kerdil.

Kita tentu tahu bahwa manfaat menulis sangat banyak, salah satunya yaitu menggerakan orang untuk berbuat sesuatu. Ambil satu contoh menurut M. Anwar Djaelani (JP: 17 Mei 2017) seperti yang dikatakan tokoh Masyumi, KH Isa Anshari (1916–1969) berpendapat bahwa revolusi-revolusi besar di dunia selalu didahului oleh jejak pena dari seorang pengarang. Maka pantas menulis adalah salah satu upaya kita untuk berkomunikasi dan menyuntikan semangat pembaharuan. Menulis adalah senjata untuk manusia dalam meraih sebuah tujuan. Menulis bisa mengubah banyak hal. Tanpa menulis kita akan ditelan oleh sejarah tanpa tau kemana akhirnya.

*Artikel ini diolah dari berbagai sumber termasuk Jawa Pos Edisi Selasa, 15/9/20
 
the woks institute l 17.9.20

Komentar

  1. Tulisan Mas Woks selalu apik dan penuh inspirasi

    BalasHapus
  2. Haha, jangan terlalu banyak memuji bu, nanti saya tidak berkembang2 lhoo hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde