Langsung ke konten utama

Catatan Kopdar : Tugas Terdekat Kita Adalah Menulis




Woko Utoro

Tugas seorang politisi dan para kader adalah mencari pengaruh sebanyak mungkin agar orang memilih pasangan pemilu yang sudah ditentukan. Atau para pemain Timnas yang sudah mulai fokus karena tugas mereka berat melawan tim tangguh di fase berikutnya. Atau berpikir ala pendakwah yang mondar-mandir dari kota ke desa untuk menyapa jamaahnya. Tentu semua peran itu bukan tugas kita.

Kita bukan seorang politikus yang jago bermain strategi bagaimana caranya meraup suara sebanyak mungkin. Kita juga bukan seorang pemain sepakbola yang berpikir bagaimana cara mencetak gol. Pastinya kita juga bukan seorang penceramah yang sibuk berdakwah dari panggung ke panggung untuk menyampaikan risalah. Kita adalah seorang penulis. Seseorang yang beberapa tahun telah menyatakan diri bergabung dengan grup kepenulisan. Jadi apalagi tugas kita selain menulis.

Kata Prof Ngainun Naim yang kita tulis entah untuk apa seperti tak punya tujuan. Terlebih hanya tulisan ringan keseharian. Bukan tulisan ilmiah yang daki-daki dengan segala prosedurnya. Tapi walaupun begitu percayalah bahwa kapan hari pasti ada manfaatnya. Jangan dikira apa yang kita jalani selama ini terbuang sia-sia. Insyaallah pasti akan ada jawabannya. Misalnya ada orang yang belum terpikirkan tentang menulis bahkan saat ini ia sudah punya buku solo. Menulisnya saja sesuatu yang hampir tidak terpikirkan apalagi sampai memiliki buku itu sungguh luar biasa.

Memang begitulah nasih orang dengan tradisi menulisnya. Mahasiswa mungkin tidak tahu untuk apa tulisannya selama ini seperti hanya tugas menumpuk dan berserakan. Padahal di lain waktu ia akan tahu betapa selalu ada hikmah di saat-saat yang tak terpikirkan. Ada pepatah berbunyi, "Tuah ayam boleh dilihat, tuah manusia siapa tahu" artinya kurang lebih siapa yang tahu nasib orang. Sekarang pengamen besok jadi presiden, saat ini sopir besok jadi bupati, ada juga saat ini kuli besok direktur semua tiada yang tahu termasuk tulisan.

Kata Prof Ngainun Naim menulis itu membawa garis takdirnya sendiri. Seperti halnya Pramoedya jangan khawatir tulisan tidak ada yang membaca. Tulis saja terus dan pastinya tulisan akan memiliki manfaat. Jadi sebenarnya sudah jelas bahwa ketika ditanya pasca Kopdar apa tugas terdekat kita? tak lain tak bukan ya menulis. Tak ada tugas lain selain menulis, berbagi pengetahuan kepada sesama, menebarkan semangat dan berkarya.[]

the woks institute l rumah peradaban 19/10/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde