Langsung ke konten utama

Catatan Kopdar : Hadiah Buku Hadiah Ilmu




Woko Utoro


Ini akan menjadi penutup dalam rangkaian catatan kopdar. Topik pamungkas dalam catatan ini adalah berkaitan dengan buku. Dalam acara kopdar SPK Tulungagung buku menjadi hadiah utama selain stiker dan beberapa buah jeruk. Tentu buku akan selalu jadi topik menarik bagi saya yang menyukainya.


Kecintaan kepada buku pastinya berelasi dengan kesukaan terhadap membaca. Karena buku adalah benda yang menyediakan pengetahuan secara cuma-cuma. Lewat buku seseorang diajak memasuki dunia yang belum diketahui. Melalui buku seseorang akan meninggalkan pengetahuan lama menuju pengetahuan baru. Demikianlah buku benda kecil berisi kata, angka atau gambar penyedia pengetahuan.


Bagi orang yang kurang suka membaca tentu buku bukanlah benda prioritas. Buku tidak menjadi wacana utama dan pastinya tidak di posisi spesial. Tapi berbeda dengan orang suka baca, buku pasti akan ditempatkan di sisi teristimewa. Maka tidak aneh jika hadiah buku akan selalu berkesan. Jika kita mau membuka sejarah bahwa di era tahun 60an orang ingin baca buku harus menyewa terlebih dahulu. Bayangkan era itu orang pergi ke buku aksesnya masih sulit dan pastinya mahal. Tidak hanya itu buku di zaman pergerakan baru bisa diakses oleh kalangan darah biru. Sedangkan kaum Bumiputera buku masih teramat sulit didapatkan. Tapi antusiasme kepada buku masih besar dan berbeda dengan saat ini.


Kita juga paham bahwa pola-pola kesuksesan orang besar tak akan jauh dari buku. Mereka pasti tipe pembaca ulung. Dari itu jelas bahwa yang sukses adalah yang banyak pengetahuannya. Jika boleh menyebut kisah persahabatan dengan buku adalah 3 idola saya yaitu Bung Karno, Bung Hatta dan Gus Dur. Mereka telah membuktikan bahwa lewat membaca seseorang akan mudah menguasai dunia. Dengan membaca sesuai isyarat Al Qur'an yaitu akan diangkat derajatnya.


Demikianlah bahwa dengan buku seseorang bisa menjelajahi ilmu. Buku menjadi teman duduk terbaik. Bahkan tidak salah jika Bung Hatta rela dipenjara asalkan bersama buku. Karena bagi Bung Hatta, bersama buku beliau terasa bebas. Begitulah kiranya bahwa ada orang jika bersama buku justru semakin terbuka pikirannya. Jika sudah jelas akan manfaat buku maka kapan kita memulai membacanya.[]


the woks institute l rumah peradaban 20/10/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde