Langsung ke konten utama

Review Buku Teraju (Strategi Membaca Buku dan Mengikat Makna)




Woko Utoro


Salah satu inspirasi menulis adalah dengan membaca buku lalu mencatat intisarinya. Dengan membuat ulasan buku seseorang mendayung dua pulau sekaligus yaitu menikmati bacaan dan menuliskan pengetahuan. Ulasan buku tersebut sering juga disebut resensi, review atau di buku ini diistilahkan teraju.


Sebelumnya saya pernah membaca rehal di rubrik milik Basabasi co. Di sana dimuat rubrik khusus mengulas isi buku. Salah satu yang menarik yaitu rubrik resensi buku di koran Jawa Pos. Tentu ulasan buku banyak kita jumpai dengan berbagai nama misalnya kupas buku, tahlilan buku dan saya sendiri menyebut dengan review pada rubrik ekstraksi.


Seperti di buku Teraju ini cara mereview memudahkan pembaca memahami ide utama. Atau biasa anak muda bertanya apa inti dari buku. Dengan cara mencatat dan menemukan pokok pikiran kita diajak masuk ke ruang ide. Setelah membaca itu seseorang akan lebih kaya dalam hal pengetahuan. Membaca memang cara seseorang berpikir dengan banyak kepala. Lewat membaca kita mengetahui strategi bagaimana buku diciptakan. Melalui membaca kita tahu menghargai pikiran.


Lewat buku ini kita belajar untuk jangan melewatkan pengetahuan sedetikpun. Salah satu mengikat pengetahuan adalah dengan menuliskannya. Cara menulis itupun tidaklah terlalu sulit. Kita perlu menulis dengan bertahap dan setelah itu menjadi habitus alias kebiasaan.[]


the woks institute l rumah peradaban 25/10/23

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde