Woko Utoro
Sore itu saya bergegas menuju Majan. Antusias hadir di acara majelis dzikir Al Khidmah memang sudah direncanakan sejak awal. Saya berpikir kehadiran kali ini adalah bayar hutang atas keabsenan saya tempo hari di acara haul akbar Kabupaten Tulungagung. Akhirnya selepas isya saya langsung tancap gas.
Alhamdulillah malam itu bertalu rindu. Sebelum duduk di majelis saya sempatkan dulu sowan ke Mbah Khasan Mimbar. Di sana saya memanjatkan doa secukupnya. Setelah itu barulah saya duduk mencebur bersama jamaah di bawah panggung. Yang dalam hal ini sebenarnya memang nyaman di serambi masjid daripada panggung gembira.
Singkat kisah acara dimulai termasuk pembacaan manaqib sampai maulid. Saya menikmati sentuhan pembacaan manaqib yang khas itu. Hingga akhirnya sampai pada sambutan dan mauidhoh hasanah. Seperti biasa Raden Ali Shodiq menjelaskan bahwa acara grebeg mulud dilaksanakan setiap tahun dan pastinya khas keraton Jogja. Termasuk di Majan grebeg mulud adalah acara puncak proses pengagungan manusia Jawa terhadap Baginda Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Tiba saatnya mauidhoh hasanah kali ini disampaikan oleh Dr. KH. Muntahibun Nafis, M.Ag. Beliau merupakan dosen UIN SATU sekaligus pengasuh Pesantren Al Mimbar 1, saya biasa memanggil beliau Pak Nafis. Dalam mauidhoh hasanah beliau menyampaikan bahwa mengikuti majelis dzikir itu sangat luar biasa. Terlebih mengikuti guru mursyid sebagai penunjuk jalan kepada Allah.
Dalam mauidhoh hasanah Pak Nafis lebih banyak menjelaskan menggunakan ilustrasi. Misalnya para arifin sholihin itu ibarat bola lampu yang memancarkan cahaya. Jika seseorang dekat dengan lampu maka bayangannya juga dekat. Sedangkan bayangan itu ibarat dunia yang hina kita injak. Arti lainya jika dekat dengan sumber lampu maka akan mudah dikabulkan hajatnya. Berbeda dengan mereka yang jauh dari sumber lampu maka akan sulit bahkan hidupnya gelap.
Pak Nafis menyebut kita yang dekat dengan sumber cahaya itu adalah "wong jero" atau orang dalam. Bukan sekadar dekengane pusat (sandaran pusat) tapi kita sudah di dalam bagiannya. Salah satu ciri dari keselamatan hidup tak lain karena faktor mencintai. Beliau berkisah tentang seorang Arab Badui yang bertanya pada nabi kapan hari kiamat. Singkat kisah nabi bertanya jika kiamat tiba apa yang sudah dipersiapkan? si Badui tersebut menjawab, saya tidak memiliki apapun kecuali cinta pada Allah dan rasul-nya.
Lalu nabi menjawab :
أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
"Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai".
Salah satu cara mencintai nabi yaitu dengan menghidupkan sunnahnya.
مَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي، وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ
"Barangsiapa menghidupkan sunahku, maka berarti ia mencintaiku dan barangsiapa yang mencintaiku, maka berarti ia bersamaku di surga”.
Pak Nafis juga mengilustrasikan isian gelas dalam proses menimba ilmu. Kata beliau awal sebelum gelas diisi si murid harus diam. Jadi jika bertemu guru awalnya harus diam, tidak rewel, sab'atan wa thoatan. Bagaimana gelas ingin diisi jika awalnya terus bergerak. Ini sama bahwa sebelum diisi ilmu, akhlak didahulukan. Santri harus bersiap dulu mendengar titah gurunya baru setelah itu ada proses dimasukkan ilmu. Santri tidak boleh protes yang ada adalah proses.
Terakhir Pak Nafis mengajak jamaah untuk terus mengikuti thariqoh KH Ahmad Asrori. Karena ikut guru yang sanadnya jelas adalah kemuliaan. Kita juga tidak usah khawatir akan masa depan. Karena Gusti Allah akan mengangkat derajat seseorang karena iman dan ilmunya. Salah satu derajat bisa diraih dengan terus berkhidmah.
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. رواه البخاري.
the woks institute l rumah peradaban 10/10/23
Komentar
Posting Komentar