Langsung ke konten utama

Tadarus Buku Sebagai Metode Cinta Ilmu




Woko Utoro


Kegiatan membaca dan menulis adalah dua aspek yang saling berkaitan. Kegiatan tersebut saling menopang dan harus dilakukan secara bergantian. Orang yang suka membaca harus juga belajar menulis tentang isi bacaan. Orang yang menulis juga tidak mungkin tanpa membaca karena semua berkaitan dengan kualitas isi. Salah satu penopang kegiatan menulis tentu dengan mengikuti kiat membaca tiap hari, kami menyebut dengan tadarus buku.


Tadarus buku tentu mengadopsi istilah membaca Al Qur'an di bulan Ramadhan. Tradisi membaca tersebut tentu dilakukan secara rutin hingga khatam. Target utama membaca tentu khatam dan paham. Jika sekadar khatam tentu bacaan kurang bernilai. Sehingga salah satu cara khatam dan paham adalah dengan mengikat makna (istilah Pak Hernowo) atau menuliskan intisarinya. Intisari buku yang ditulis pasca membaca bisa dikenal dengan resensi, review, rehal, teraju atau kupas buku.


Tadarus buku bisa dilakukan kapanpun dan di manapun. Bahkan di Jepang terdapat tradisi membaca di tempat umum sambil berdiri disebut tachiyomi. Tadarus buku tentu mengajak seseorang untuk rajin membaca. Karena dari tradisi itu seseorang akan mendapatkan manfaatnya. Manfaat tadarus buku yaitu menambah pengetahuan plus kosakata, diajak belanja ide (istilah Prof Ngainun Naim), mengetahui pikiran penulis, memahami bacaan dan mengasah otak agar tetap sehat.


Lewat tadarus buku tersebut kita akan dilatih soal manajemen waktu. Karena untuk mencintai membaca hanya perlu satu buku (Najwa Shihab). Karena untuk mencintai ilmu hanya perlu komitmen akan kebutuhan. Jika membaca sudah menjadi kebutuhan bahkan budaya maka tidak mustahil jika tingkat literasi kita akan meningkat. Perintah membaca tentu budaya luhur dalam Al Qur'an yang bisa diartikan untuk teruslah berpengetahuan.[]


the woks institute l rumah peradaban 30/10/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde