Langsung ke konten utama

Wejangan-Wejangan Bu Nyai Ulfahidayah Shofna




Woko Utoro

Sore itu saya dan Kang Bangkit alhamdulillah bisa sowan ke ndalemnya Abah Nafis. Sejak dulu hingga kini formasi sowan ke sana tetap dua orang ini. Mungkin di lain kesempatan bisa formasi lengkap yaitu anggota PSP. Setelah lebaran memang selalu kami sempatkan ba'dan (halal bihalal) ke rumah beliu. Karena beliau merupakan pembina kami di pusat studi pesantren.

Singkat kisah sore itu kami meluncur walaupun disertai gerimis sepanjang jalan. Setibanya di sana ternyata keadan mati lampu. Hingga akhirnya kami diterima oleh Bu Nyai Ulfa tak lain adalah istri Abah Nafis. Sembari menunggu kepulangan Abah Nafis dari kampus kami pun berbincang banyak hal dengan beliau di depan teras rumah. Saya tentu mencatat poin penting dari apa yang didawuhkan Bu Nyai Ulfa. Catatan tersebut mayoritas berkaitan dengan topik asmara. Mungkin Bu Nyai memahami usia seperti kami sudah memasuki waktu membina rumah tangga.

Kata beliau kalau bisa memilih pasangan itu yang se frekuensi. Dalam artian mereka yang siap berjuang dengan kita. Sebab dewasa ini rerata perempuan itu sama. Intinya mereka lebih cenderung hidup ala generasi skincare. Soal generasi skincare ini lain kesempatan saya jelaskan panjang lebar. Yang jelas jodoh itu cerminan alias pantulan diri. Sehingga soal ini tidak boleh asal alias sembarangan.

Pasangan se frekuensi apalagi yang mau berjuang adalah hal utama. Jangan mencari yang hanya sibuk di depan hape. Jangan mencari yang sekadar bermanja-manja. Baik laki-laki atau perempuan mereka harus bekerja. Mereka harus berpikir tentang masa depan. Walaupun harus disadari semua hal sudah ditentukan oleh Allah.

Pasangan se frekuensi itu penting karena berkaitan dengan kenyamanan. Karena kenyamanan itu tidak bisa dibuat-buat. Kenyamanan antar pasangan membuat banyak hal terbuka dan tidak menimbulkan prasangka. Bayangkan jika kita hidup tidak nyaman lantas bagaimana visi akan dilanjutkan. Nyaman itu tidak sekadar komunikasi, makan bersama, mengerti ini dan itu. Tidak. Tapi nyaman itu dalam berbagai hal walaupun di sisi lain ada perbedaan. Maka soal pasangan itu bukan tentang diri kita dan dia tapi semua. Sehingga kita juga perlu mengetahui keluarga si pasangan tersebut.

Pasangan se frekuensi itu penting karena mereka yang akan memahami kita. Terlebih ketika sudah memiliki anak. Bagaimana parenting mereka ketika bersama keluarga dll. Misalnya bagaimana ketika anaknya sudah sama-sama mengerti perasaan pada lawan jenis. Bagaimana orang tua memahami kondisi tersebut. Sehingga dari itu parenting di era modern sangat diperlukan. Orang tua harus mengerti perubahan zaman. Mereka tidak boleh kaku terhadap kondisi anaknya. Mereka harus mengawal anaknya dengan baik terutama soal asmara.

Pasangan se frekuensi itu sangat penting sebab menikah bukan perkara satu dua hari tapi tahunan. Karena setiap orang memiliki siklus kebosanan maka bagaimana hal ini menjadi strategi tersendiri antar pasangan. Biasanya siklus menikah 3 tahun berjalan sudah akan nampak godaan dan ujian. Maka kedewasaan serta kerjasama yang baik antara pasangan menjadi kunci melewatinya.

Jadi lelaki itu harus percaya diri. Tidak boleh bingung apalagi sering minder. Tunjukkan bahwa kamu kuat, bisa dan memiliki kepastian. Sebab laki-laki akan jadi imam maka perlulah jiwa pemberani. Jangan menuntut perempuan untuk tampil sempurna sedangkan laki-laki nya biasa saja. Tuntutlah pada diri kita sendiri sebelum pada orang lain. Jika sudah punya pasangan langsung saja dipastikan. Sebab hubungan itu perlu status dan kepastian. Apalagi laki-laki perlu kepastian dan jika tidak kunjung ada kepastian mengapa perlu dilanjutkan. Laki-laki harus serius dan soal pasangan tidak boleh dibuat mainan.

Semua hal itu harus diilmui. Semua hal pasti ada ilmu dan strateginya. Jangan dikira punya suami pintar atau istri cerdas terus kita enak-enakan. Tidak. Kita juga harus belajar. Kita harus menyesuaikan diri. Terus mengawal pasangan agar terus nyaman dan menarik. Jangan sampai kita flat dan tidak menyenangkan di depan pasangan. Kita pun harus belajar menyelami. Misalnya jika pasangan kita dosen maka belajar bagaimana cara komunikasi dengan kaum akademisi. Jika pasangan kita tokoh publik atau aktivis maka harus dipelajari bagaimana melayani mereka dll.

Jangan lupa sering shalat istikharah. Shalat tersebut bukan tentang amalan menentukan di saat ragu. Menentukan dua pilihan. Tidak. Tapi perlu sebagai metode merayu Tuhan. Kalau berdoa pun tidak boleh abstrak. Doa itu harus jelas misalnya minta pasangan yang seiman, sholehah, mau berjuang, hidungnya mancung atau wajahnya cantik tidak apa-apa. Doa semacam itu ibaratkan proposal kita sudah mencicil sejak sekarang.

Jangan lupa jika sudah tiba saatnya jodoh itu tidak boleh ditolak. Maka jika ada orang yang menawarkan pasangan jangan segera ditolak. Kita cukup katakan terimakasih atas tawaran tersebut. Lalu setelah itu doakan dengan harapan ada yang cocok buat kita. Intinya jangan takut dan serahkan semuanya kepada Allah barangkali itulah rezeki kita. Tidak usah khawatir setiap orang memiliki jatah rezekinya masing-masing.[]

the woks institute l rumah peradaban 25/4/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde