Langsung ke konten utama

Rihlah Jombang Lamongan 2024




Woko Utoro

Sudah sejak lama kami memang telah merencanakan perjalanan menuju Lamongan. Salah satu agenda utama ke kota Bahari tersebut adalah silaturahmi guru saya yang kebetulan sedang ada acara walimah dan ziarah ke makam ayah teman kami. Sebenarnya kami ingin mampir juga ke tempat lain tapi karena waktu terbatas akhirnya kami hanya memenuhi agenda utama tersebut.

Perjalanan dimulai dari pondok PPHS. Kami berangkat setelah shubuh langsung tancap gas melewati Jembatan Ngujang 2. Perjalanan melalui rute timur yaitu Udanawu, Kandat, Ngancar, Ngasem Palemahan, Kunjang, Gudo hingga ke Tambakberas Jombang. Ya rute awal yang kami datangi adalah teman sepondok yaitu Mas Muhibbin dan rumahnya di areal Pondok Tambakberas Jombang. Singkat kisah di sini kami istirahat dan dijamu dengan sajian kupat nan khas. Setelah usai kami langsung menuju ke tempat selanjutnya.




Dalam perjalanan kami sempat beberapa kali istirahat karena lelah, ngantuk hingga isi bensin. Karena perjalanan cukup jauh maka kami butuh tenaga ekstra. Termasuk shalat jamak sebagai strategi memanfaatkan rukhsoh di perjalanan. Singkat kisah kami langsung menuju Ploso, Kabuh, Ngimbang dan Dradah Lamongan. Sesampainya di Modo Dradah Lamongan kami bersiap memasuki acara walimah. Ternyata ketika akan mematikan mesin motor kunci motornya hilang. Kami pun sedikit panik dan langsung kembali ke tempat awal ketika mengisi bensin. Saya menduga kunci tersebut terjatuh.

Kami kembali dan itu butuh cukup waktu karena jarak lumayan jauh. Akhirnya alhamdulillah kunci ditemukan di tengah perjalanan. Kami pun kembali dan disambut oleh guru saya Bapak Hayadi dan Ibu Sri Yani. Kebetulan Mbah Tamat, bapaknya Bu Yani masih mengenali saya yang sudah lama sekali tak berkunjung lagi ke sana. Akhirnya kami pun bercengkrama sambil menyicipi jajanan khas lebaran. Tak lupa kami santap nasi rawon khas Lamongan sambil harap-harap cemas hujan tak kunjung reda.

Selama lebaran ini terutama sore hari di sebagian wilayah Jawa Timur memang sering turun hujan termasuk Tulungagung, Jombang dan Lamongan. Dari itu kami yang tak persiapan mantel pun dipaksa harus membeli di pertengahan jalan. Kami berangkat menggunakan mantel sampai pertengahan kota Lamongan dan di sana justru cuaca cerah. Sesampainya di sana kami juga mampir ke beberapa temannya Mas Pepy termasuk almamaternya dulu SMK NU Lamongan, pesarean bapak dan sowan ibu sambungnya.




Ketika di pesarean kami tentu memanjatkan doa. Di sinilah momen haru selalu terjadi di mana seraya ingat tentang ketika masih hidup tergambar jelas. Akhirnya kadang rasa haru itu muncul. Cuma hingga di rumah beliau yang kami kunjungi seolah nostalgia. Dan di sini Pepy tak kuasa membendung tangis. Saya selalu memahami bahwa rindu memang tak pernah bisa berbalas. Kecuali hanya air mata yang mengalir secara alamiah. Singkat kata setelah ini kami menuju alun-alun kota Lamongan.

Di alun-alun kota Lamongan Pepy mengajak saya berwisata kuliner. Kami mampir di trotoar jalan depan Klinik RSU Muhammadiyah. Di sana kami bersantap nasi Boranan khas Lamongan. Sebuah kuliner nasi yang diletakkan di wadah anyaman bambu. Konon sajian nasi ini dulu digunakan orang mengirim pekerja di sawah atau tambak. Dengan lauk pauk yang bervariatif kami pun makan begitu lahapnya. Tapi di akhir yang membuat saya tercengang dan ini tidak diberi tahu oleh Pepy terkait harga. Di luar dugaan ternyata harganya begitu mahal. Untuk dua porsi nasi dengan lauk telur dan ayam serta es teh kami merogoh kocek 45 ribu. Untung saja saya dibayari Pepy sehingga tidak begitu shock.




Setelah usai santap sore kami langsung meluncur menuju Tulungagung. Di sepanjang perjalanan pulang pemandangan sore begitu ciamik terutama ketika lewat masjid agung Lamongan hingga masjid Namira yang iconik. Tapi sayangnya lewat malam hari di daerah Sambeng kami menahan kesabaran. Pasalnya sepanjang jalan ini keadaan bergelombang, lagi becek. Selain itu suasana gelap menerobos hutan. Hampir tidak ada tanda-tanda kehidupan. Kami hanya berdoa semoga motor bisa terus dipacu tak habis bensin, ban bocor atau kunci hilang. Bahkan di hutan menuju Ngimbang terjadi kemacetan parah akibat truk yang mogok. Untung saja kami bisa melewati itu semua.

Dari perjalanan singkat ini kami selalu belajar akan hal-hal yang prinsip seperti silaturahmi, keikhlasan dan kesabaran. Serta merenungi arti rindu dan kehilangan. Hingga akhirnya sepanjang perjalanan yang beberapa kali kami harus isi bensin dan meminum kopi supaya tidak ngantuk. Akhirnya kami tiba di pondok sekitar pukul 22:00 WIB. Tentu keadaan begitu lelah tapi sekaligus plong karena agenda kami berjalan dengan lancar.

Sebenarnya ada banyak hal yang bisa kami pelajari. Tapi lain kesempatan saja saya akan tulisan kisah klasik ini. Yang jelas perjalanan ini membawa kita akan hakikat hidup. Yaitu berjalan menuju Tuhan jika pun jalanan bergelombang toh Tuhan adalah muara akhirnya. Kita hanya diperintahkan untuk terus berjalan hingga titik akhir tanpa mengeluh dan terus berharap kepadaNya.[]

the woks institute l rumah peradaban 18/4/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde