Langsung ke konten utama

Menyelami Makna Tawasul




Woko Utoro

Tawasul tidak asing di telinga masyarakat kita. Saking familiarnya tawasul masuk ke segala sendi tradisi kehidupan masyarakat. Tawasul berasal dari kata wasilah, tawassala-yatawassalu-tawassulan yang berarti perantara. Maka tawasul adalah sebuah perantara atau mediator dalam berdoa. Orang Jawa menyebut tawasul sebagai ngajatne atau menstrukturkan harapan.

Seperti yang telah diketahui bahwa tawasul terbagi dua yaitu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Yang tidak diperbolehkan jelas yaitu meminta kepada selain Allah. Sedangkan yang diperbolehkan yaitu meminta kepada Allah lewat perantara kekasihnya. Bisa juga dengan hal lain seperti ayat-ayat, kebaikan dan amal sholeh.

Di masyarakat terjadi polarisasi terkait hukum tawasul. Bagi kalangan Nahdliyyin tawasul dibenarkan sedangkan bagi Islam salafy tawasul dianggap bidah, sesat bahkan haram. Bicara tawasul dulu ada kisah yaitu seorang lelaki yang terperangkap di dalam goa. Di mulut goa sebuah batu besar menutupi. Sehingga si lelaki tersebut tidak bisa keluar dalam keadaan gelap gulita.

Tak ada yang dapat ia lakukan terhadap batu besar tersebut. Dia tak kuasa menggeser batu dengan tenaganya yang kecil. Hingga di tengah harapan dan putus asa ia bermunajat. Dia bertawasul dengan birrul walidain, katanya dulu ia sempat merawat ibunya ketika sakit. Hingga sang ibu wafat setidaknya ia telah menjalankan amanah sebagai anak yang berbakti pada ibunya. Jika hal itu dinilai baik tolonglah agar ia bisa keluar. Akhirnya batu itu perlahan bergerak dan bergeser.

Selanjutnya ia berwasilah dengan kejadian belasan tahun lalu di mana ia hampir saja tenggelam dalam zina. Katanya dulu di suatu kamar ia mendapati seorang perempuan muda yang telanjang. Ia digodanya dan jika ia tidak menolak bisa saja hubungan terlarang terjadi. Maka kejadian penolakan itu jika disebut baik tolonglah kemurahan kuasa Allah. Hingga batu pun bergeser lebih lebar.

Terakhir ia mengingat bahwa di rumah memiliki karyawan. Ia harus segera pulang karena ada amanah yang harus ditunaikan kepada karyawannya. Tapi sebelum itu ia ingat jika gaji mereka telah dibayarkan tanpa ditunggak. Jadi jika amanah tersebut termasuk kebaikan tolonglah beri hamba jalan keluar. Akhirnya dari wasilah terakhir batu besar tersebut terbuka sempurna dan si lelaki tersebut keluar dengan selamat.

Tentu banyak kisah berkaitan dengan tawasul. Salah satunya ketika nama sulthonul auliya Syeikh Abdul Qodir Al Jailani disebut dalam keadaan tak berdaya di laut atau di alam kubur maka maunah Allah datang menghampiri. Tawasul tersebut tentu tidak sembarang. Menurut ahli thariqah tawasul memiliki urutan dan dosisnya tersendiri. Sehingga tawasul memiliki sanad keilmuannya masing-masing. Yang tak boleh terlupakan adalah tawasul setelah puji syukur lalu menyebut nama Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan Syeikh Abdul Qodir Al Jailani.

Demikianlah kisah tawasul. Sebagai orang biasa kita ibarat sampan. Sedangkan di lautan lepas kita memerlukan dermaga untuk bersandar dengan selamat. Sehingga proses menuju dermaga membutuhkan perantara di antaranya sekoci, jangkar, layar, penunjuk arah serta bahan bakar. Perantara itulah yang menghantar kita menuju dermaga.[]

the woks institute l rumah peradaban 5/4/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde