Langsung ke konten utama

Menilik Demokrasi Dalam Islam




Woko Utoro

Melihat fenomena demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini begitu mencemaskan. Pasalnya di tahun 2019 kita dihadapkan dengan populisme dan politik identitas. Kini di 2024 kita dihadapkan dengan politik cawe-cawe alias penyelewengan kekuasaan. Bahasa terkenal untuk menggambarkan ruang demokrasi kita kemarin adalah demokrasi yang mencederai etika.

Kalangan budayawan menyebutkan mengapa demokrasi kita mengalami kemerosotan? tak lain karena sistem kepemimpinan masih dipikul oleh kepentingan politik. Coba saja jika kebudayaan dan intelektualitas sebagai tulang punggung maka cerita akan berkata lain. Demokrasi sebagai ladang ijtihad memang selalu mengalami tantangan. Sehingga ketika demokrasi down maka jangan aneh jika kita melahirkan pemimpin yang tidak berkualitas. Prof Quraish Shihab menyebutnya sebagai paceklik kepemimpinan.

Lantas bagaimana Islam memandang demokrasi serta adakah konsep serupa yang intinya bermuara pada kemaslahatan. Sebelum jauh ke sana kita perlu membaca secara singkat mengapa demokrasi di Indonesia terkena pukulan begitu keras. Gita Wiryawan, menteri perdagangan era SBY menyebutkan satu dari sekian alasan mengapa demokrasi di Indonesia menurun kualitasnya. Katanya, karena dalam demokrasi kita tidak terjadi intelektualisasi di semua lapisan. Masyarakat menganggap demokrasi hanya soal mencoblos dalam bilik suara. Sedangkan kalangan elit mengartikan demokrasi sebagai ajang politik tahunan yang penuh intrik.

Politik yang dijalankan pun berorientasi pada basis suara bukan atas keresahan rakyat. Sehingga demokrasi hanya dimaknai sebagai kebebasan memilih serta perebutan kekuasaan. Seharusnya demokrasi adalah wasilah untuk mendapatkan tujuan yang mashlahat. Menurut Prof Quraish Shihab Islam tidak melarang demokrasi. Justru dalam Islam dikenal dengan musyawarah yang secara makna sederhana bisa diartikan sebagai jalan tengah. Musyawarah dapat diartikan sarang lebah.

Kata Prof Quraish Shihab coba kita lihat lebat itu hewan berkoloni. Mereka hidup bersama dan saling kerja keras. Tujuannya adalah untuk menghasilkan madu terbaik. Lebah adalah hewan yang selektif. Mereka hanya akan menghasilkan madu dari nektar terbaik. Maka etos kerja dan kekompakan lebah diabadikan dalam al Qur'an surah an Nahl. Jika dikontekstualkan dalam demokrasi tentu akan menghasilkan pengertian sebuah usaha untuk menggapai sesuatu lewat jalan kebaikan.

Jadi pada prinsipnya demokrasi bukan jalan pintas dan menghalalkan segala cara. Seperti halnya musyawarah, demokrasi bertumpu pada kepentingan rakyat. Sehingga satu dari sekian cara melihat keresahan rakyat adalah lewat demokrasi. Islam adalah agama yang menempatkan kepentingannya untuk semua. Maka dalam Islam dikenal dengan jargon Rahmatan Lil Alamiin. Islam juga mengajak umatnya untuk berpikir esensi daripada materi. Prof Quraish Shihab bertanya lebih baik mana demokrasi yang melahirkan pemimpin diktator atau kepemimpinan otoriter tapi mensejahterakan rakyat?

Pertanyaan itulah yang sesungguhnya membutuhkan jawaban bagi kita semua. Sama halnya dengan peristiwa apakah dipimpin non muslim adil lebih baik dari pemimpin muslim tapi semena-mena. Dalam konteks pemimpin memang penting misalnya pemimpin non muslim satu malam lebih baik daripada tidak ada pemimpin. Jadi intinya Islam mengenal demokrasi dengan istilah musyawarah. Sebuah konsep yang bertumpu pada kesejahteraan, keadilan, etika moral, integritas dan berbasis ketuhanan.

Jadi jika setiap orang mampu membaca akan arti penting musyawarah maka tidak ada alasan pemimpin untuk jahat pada rakyat. Sebab orientasi utama seorang pemimpin kepada rakyatnya adalah membawa kemakmuran. Karena pemimpin adalah akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya.[]

the woks institute l rumah peradaban 9/4/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde