Langsung ke konten utama

Menakar Ketulusan




Woko Utoro

Dalam banyak pengajian Gus Iqdam selalu menyebut kata "tulus" yang disematkan buat jamaahnya. Orang-orang tulus selalu hadir tanpa peduli bagaimana pun keadaannya. Mereka tetap hadir di majelis sekalipun hujan atau berjubel jamaah. Mereka hadir dan bertahap di saat orang lain terlelap tidur. Tapi apakah ketulusan bermakna demikian.

Tulus masih satu rumpun dengan kata ikhlas. Sebuah sikap yang jernih dan tidak bertendensi apapun kecuali keridhoan Tuhan. Ketulusan tidak kalkulatif atau hitung-hitungan. Ketulusan justru memberi tanpa berharap ada imbalan. Ketulusan memang bukan sifat fisik melainkan sikap batin dari dalam. Dorongan yang terjadi karena memberdayakan sikap spiritual. Sebuah sikap yang mudah diucapkan tapi sulit dilakukan.

Lantas bagaimana menjadi orang tulus? sederhana saja anda bisa memulainya dari hal-hal kecil seperti bertegur sapa, menebar senyum, menyampaikan salam hingga memberi tanpa pamrih. Jika memiliki kebaikan tidak dipamerkan dan jika berbuat buruk segera istigfar lalu taubat. Jika diberi ujian langsung bersabar. Karena orang tulus paham bahwa kesabaran adalah puncak kehidupan. Bahwa kesederhanaan adalah puncak kekayaan. Bahwa saripati ibadah adalah keikhlasan.

Sebagaimana telah disebutkan apakah kita pernah berbuat sesuatu dengan tulus. Karena bagaimanapun juga ketulusan itu harus. Satu kali berbuat dengan tulus justru akan mengalahkan aktivitas lain yang pamrih, ingin dikenal, ingin dipuji dll. Bisa jadi dari banyak aktivitas harian kita masih bersandar pada sesuatu yang bersifat untung rugi. Maka dengan satu pekerjaan yang tulus berharap Tuhan memperkenankan. Cara sederhana apakah kita tuliis atau tidak yaitu dengan mengevaluasi niat.

Jika segala aktivitas diniati untuk Allah maka akan bernilai ibadah. Sebaliknya jika pekerjaan hanya sekadar memenuhi kebutuhan tanpa niat tulus maka aktivitas tersebut bernilai dunia biasa. Ketulusan memang perpaduan antara keseriusan dan kejujuran. Tidak mungkin orang tulus membohongi diri sendiri apalagi orang lain. Maka dari itu spesies orang tulus itu langka. Ketulusan perlu dilestarikan di tengah dunia yang ambisius.

the woks institute l rumah peradaban 4/4/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde