Langsung ke konten utama

Halal Bihalal TPQ Kortan Kauman 2024




Woko Utoro

Untuk ke sekian kalinya saya bisa hadir di acara yang dihelat oleh LP Ma'arif NU Kecamatan Kauman. Kali ini saya ditemani Ocit untuk menghadiri acara halal bihalal sekaligus pembukaan kegiatan TPQ. Tempat acara yaitu berada di masjid TPQ Al Hikmah Karanganom atau di bawah objek wisata Srabah.

Singkat kisah ketika seluruh peserta berkumpul acara pun langsung dimulai. Acara dibuka dengan seremonial yaitu pembukaan, menyanyikan lagu Indonesia Raya, mars shubbnul wathan dan mars TPQ an Nahdliyah, dilanjut tahlil, sambutan hingga mauidhoh hasanah. Bertindak sebagai MC yaitu Bu Mala dan dirijen putrinya Bu Masfiyah.

Dalam sambutannya Pak Imam Asrofi selaku ketua TPQ Kortan Kauman yaitu untuk tetap semangat dalam membimbing anak. Termasuk taat administrasi agar barangkali ada kemudahan soal bantuan demi pengembangan TPQ. Setelah itu sambutan ketua tanfidziyah MWC NU Kauman yaitu Bapak Zainal Ahmadi. Dalam sambutannya Pak Zainal menyampaikan hikmah halal bihalal yaitu tiga hal : menyelesaikan problematika/kesulitan, meluruskan benang yang kusut dan mencairkan sesuatu yang beku.

Pak Zainal juga berpesan agar para guru gigih dalam belajar dan membimbing anak. Termasuk memberikan teladan bagi anak khususnya membaca al Qur'an. Jangan khawatir kita hanya sebagai guru TPQ. Karena esok hari guru TPQ dibutuhkan oleh masyarakat. Senada dengan itu Mbah Kiai Muallif menyampaikan mauidhoh hasanah bahwa kunci keberhasilan santri adalah pada gurunya. Intinya mengajarlah semampunya. Biasanya guru tidak begitu alim tapi ikhlas justru berhasil dalam mendidik anak. Karena keikhlasan adalah ruh ibadah.

Beliau juga menyampaikan tidak bisa dibayangkan jika pahala orang berjuang di jalan Allah ditampakan maka akan sebesar apa. Atau dosa yang rontok akibat sering silaturahmi itu seperti apa. Inilah yang harus kita syukuri dapat bertemu dalam medan perjuangan khususnya untuk memuliakan al Qur'an. Terakhir acara ini usai ditutup dengan doa dan dipimpin oleh H Imam Asyari. Setelahnya baru yang kita nantikan yaitu makan-makan.[]

the woks institute l rumah peradaban 22/4/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde