Langsung ke konten utama

Ber-IPNU Seni Mendapat Jodoh

Ber-IPNU Seni Mendapat Jodoh
..
Woks
"Darimana datangnya lintah. Dari sawah turun ke kali. Darimana datangnya cinta, dari mata turun ke hati".
Kita akan selalu ingat sajak itu, mungkin sejak pertama kali belajar tentang sastra di sekolah dasar. Tapi nyatanya kita tidak selalu paham dengan hal itu, kecuali masa kini dalam proses perjalanan yang panjang. Sajak tersebut tentu berkisah tentang asmara sebagai pandangan pertama. Maklum saja, pandangan pertama selalu teramat indah untuk terus diingat. Sehingga ada istilah mantan terindah.

Asmara dan jodoh sepertinya tak bisa dipisahkan. Di mana tempat atau waktunya, semua orang berpotensi bertemu dan berjodoh. Namun, kuncinya ialah tidak hanya sekedar bertemu. Sebab bertemu belum pasti berjodoh. Akan tetapi wasilah pertemuanlah jodoh kadang datang. Apalagi dalam lingkup organisasi, seseorang sangat mudah mendapat pasangan karena seringnya interaksi dengan lawan jenis. Percis dengan penggambaran sajak di atas.

Salah satu organisasi yang ku kagumi adalah pelajar NU. Organisasi ini sering kita jumpai sebagai wadah kaderisasi baik dari tingkatan dasar yang berada di ranting hingga menengah ke atas sampai pengurus besar. Tanpa disadari dan memang secara alamiah, organisasi ini sering membawa para ketuanya sampai memiliki hubungan. Mulai dari hubungan pertemanan, percintaan hingga pelaminan. Entah seperti apa awal kisahnya, yang jelas jika ditarik pada akar historis kita akan bisa menjumpai kisah asmara ketua IPNU pertama Prof KH Tolchah Mansoer dan ketua IPPNU pertama Dra Hj Umroh Mahfudzoh yang tak lain merupakan cucu pendiri NU KH Abdul Wahab Chasbullah Tambakberas.

Mari kita flash back sejenak sejarah asmara sang ketua itu. Yang mungkin saja mengilhami kader lain untuk meneruskan rekam jejaknya, terutama dalam asmara. Secara psikologis Sigmund Freud sering berkata bahwa seseorang cenderung akan mengulangi kehidupan masa lalu. Contoh sederhananya ialah tentang asmara dua tokoh pendiri tersebut. 

Prof. Tolchah Mansoer adalah tipikal orang yang organisatoris dan juga serius. Ia tidak seperti pemuda lainnya yang memikirkan tentang asmara. Dari sanalah kadang teman-temannya muncul untuk menjodoh-jodohkan beliau dengan Umroh Mahfudzah yang tak lain merupakan cucu pendiri NU, termasuk tokoh perintis berdirinya ikatan pelajar putri NU (IPPNU). Pertemuan pertama Tholchah dan Umroh yaitu pada Forum Konferensi Segi Lima di Solo pada tahun 1954. Sebuah forum konsolidasi pertama organisasi IPNU setelah berdiri.

Saat itu pelajar putri NU ingin bermaksud bergabung dengan IPNU, akan tetapi ditolak oleh Tolchah. Dalam pandangan yang berseberangan itulah akhirnya IPPNU berdiri sendiri sebab, Muslimat dan Fatayat pun bisa berdiri sendiri. Dalam pandangan yang berbeda itulah awal di mana perjumpaan keduanya dimulai, hingga menjadi kesan pertama yang menjadikan mereka romantis, karena selama ini Tolchah sering berkirim surat kepada Umroh. 

Saat bibit-bibit asmara itu mulai merebak akhirnya banyak teman-teman karibnya yang meledeknya terutama Ismail Makky. Menurutnya Tolchah merasa minder karena iya anak orang biasa, sedangkan Umroh adalah anak menteri dan tokoh NU. Ismail Makky meneruskan pada Tholchah "Mengapa mesti takut? Kalau sampean nggak mau, saya yang mau". Hasil dari mencomblangkan Tholchah itu akhirnya ia malah memberikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Menurut penuturan Moenshif Nachrowi, Umroh Mahfudzoh adalah cinta pertama sekaligus terakhir bagi Tolchah Mansoer. (Biografi KH Moh Tolchah Mansoer, pustaka pesantren. hlm 24).

Dari kisah itulah kini kita dapati dengan real, banyak sesama kader pelajar NU yang menjalin asmara bahkan hingga menikah. Hal itulah yang disebut menghidupi organisasi. Dalam anekdot kita jumpai "organisasi selamanya", dalam lingkup bersama banyak anggota hingga berkeluarga. Mungkin saja fenomena itu adalah dalam rangka memesan jodoh. Inilah seninya ikut organisasi, selain mendapat pengalaman, keilmuan, jaringan hingga pasangan. Walau demikian organisasi ini tak kehilangan  esensi sebagai wadah penggerak, kaderisasi pelajar. Tetap pada garis terdepan dalam belajar dan menimba ilmu. Anda tertarik?? Belajar dulu ya...
#SalamBudaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde