Langsung ke konten utama

Ngaji Itu Asyik

Ngaji guys
Woko Utoro

Suatu hari di sebuah warung kopi, tak sengaja akau bertemu dengan kawan-kawanku. Disana kami berbincang akrab sekali, seperti orang yang sudah puluhan tahun belum pernah berjumpa. Salah satu temanku bercerita seputar hatinya kini, ia bercerita mengenai ngaji.
Ngaji adalah sebutan proses belajar seputar masalah keagaaman yang tempatnya berada di pondok pesantren, langgar, di madrasah, atau bahkan di gubuk sederhana. Kata teman saya, "kenapa sih kok hidup ini di penuhi dengan aktivitas ngaji, ngaji dan ngaji, coba kamu bayangkan setelah shalat shubuh ngaji, setelah dzuhur ngaji, setelah asyar ngaji, setelah magrib ngaji, dan bahkan setelah isya masih juga ngaji, apa tidak bosan hidup ini gitu-gitu saja".
Memang sih ada benarnya juga apa yang di katakan teman saya itu, sah-sah saja. Dengan canda saya mencoba menjawabnya"masih mending kamu di suruh mengaji, coba saja bayangkan kalau kamu di suruh tidur sepanjang hari, lha itu namanya mati namun hidup", kamipun tertawa. Sedikit demi sedikit kopipun semakin surut namun, teman saya itu masih penasaran tentang istilah ngaji yang selama ini ia maknai sebagai pengekang hidup. Dengan keterbatasan saya, mencoba menjelaskan padanya bahwa ngaji itu aktivitas yang menarik dan unik. mari kita buktikan, pertama, jadikan ngaji itu sebuah kebutuhan alias vitamin kehidupan, bayangkan saja kalau tubuh tanpa vitamin maka yang kita rasakan adalah lemas, letih, lunglai dan sebagainya. Kedua, ngaji itu sebagai sarana belajar sampai akhir hayat, karena zaman sekarang terutama di era melenium ini, ngaji pada ustadz, kiai, apalagi yang metode salaf banyak anak muda yang sungkan dan alergi, coba saja sepuluh tahun kedepan mungkin istilah ngaji qur'an, ngaji kitab klasik hanya bagian sejarah saja, itupun kalau di ingat, bukankah manusia itu mahluk pelupa tingkat akut, hehehe. Ketiga, ngaji itu sebagai pelestari dari tradisi, maukah anda menjadi salah satu pewaris dari para ulama yang mewarisi kepada para cucu selanjutnya?, nah maka dari itu selagi kita mampu mewarisi hal-hal yang baik mengapa tidak. Keempat,ngaji itu sarana bertemunya teman-teman untuk bertukar fikiran, maka jadikan ngaji itu hal yang dapat membuat kamu jadi nyaman, dan tentunya karena teman. bayangkan saja jika kamu seharian tiduran di rumah pasti membosankan, nah kalo di pengajian kan bisa bertemu dengan teman, apalagi teman baru yang membuat kita saling belajar satu sama lain. Dan kelima, ngaji itu sebagai penerang hidup kita, bukankah Rasulullah di perintahkan oleh Allah untuk Iqra, bacalah nah, maka dari itu kita harus terus-belajar dan terus belajar sampai akhir hayat.
Setelah mendengar penjelasan itu teman saya akhirnya sadar bahwa di balik ngaji yang selama ini orang tuanya selalu tekankan ternyata ada hikmah di dalamnya.
Mari mengaji....
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde