Langsung ke konten utama

Memori Pondokku

Jejak Malam
Oleh: Woko utoro


Senja telah menyambutku dengan hangatYang telah menghantarkan aku di suatu tempatDimana tempat itu adalah kawah ilmu agamaYang telah lama aku idam-idamkan…Keringat bercucuran tanda tak karuan…Ku ambil wudhu lalu sembahyang…Dzikir-dzikir dan lantunan do’a ku panjatkan…bersama alunan melodi asrama yang bersahajaKu ambil lembaran  kitab di baca dan dengarkan
Walau kadang hati tak pahamPerasaan mengantuk selalu mewarnaiNamun semua itu hilang dengan es yang menyejukan3000 rupiah buat nasi jangan si mbah depan jalan…Berpadu dengan suara kendaraan hilir mudik…Tak ada angin malam yang sedikit saja mencolek
…Yang ada hanya keramik marmer yang mendinginkanKau telah mengajarkanku pendidikanSederhana dan berartiBahwa di luar sana jauh lebih panas, jauh lebih gelapApakah malam-malamku di penuhi keraguanMudah-mudahan tidakAku rindu malam sejukku  *PP.Panggung,17 November 2015
   Apa kabar? Pondok PanggungSugeng enjing…            Pondok yang tiap pagi selalu bersahaja, Masihkah ada suara-suara alarm dinding dan tepuk-tepuk Gus Fat bergema membangunkan para santri?, ataukah sudah tak di hiraukan lagi. Masihkah ngaji sorogan Al-Qur’an terdengar gema dan lantunanya di tengah-tengah badai ngantuk yang menerpa?, ataukah para santri tidur lagi. Masihkah Subha subuh dan duha jadi tradisi kesiangan, moga saja tidak. Masihkah debu-debu jalanan dan sampah sudah di bersihkan?, ataukah jadwal piket itu hanya sekedar hiasan di madding yang usang. Apa kabarmu saat ini pondok panggung?, semoga kau baik-baik saja.
Sugeng siang…            Masihkan terdengar gamang santri Mts dan Aliyah menghafalkan surat-surat pendek?, ataukah sudah tergantikan dengan game COC yang mengasyikan. Masihkah para santri tertib dalam juz bacaan Al-Qur’an dalam ahad pahing tiap bulan?, atau hanya formalitas belaka, demi sepiring nasi. Apa kabarmu saat ini pondok panggung?,semoga kau baik-baik saja.
Sugeng sore…Masihkah suasana sepi menyelimuti di tengah terik matahari setelah asyar? Masihkah budaya asyar berakhir di magrib itu ada?, somoga saja tidak ada. Masihkah para santri duduk-duduk santai di parkiran belakang?, guna menunggu giliran mandi, atau mereka lalai..semoga saja tidak. Masihkah para santri para santri berduyun-duyun berwudhu lalu shalat magrib bersama Gus Huda, atau para santri sibuk dengan androidnya. Masihkah dzikir-dzikir bergema merdu atau malah para santri segera lari kekamar. Masihkah kegiatan asrama di laksanakan, atau hanya sekedar formalitas, mudah-mudahan saja tidak. Masihkah Madrasah diniyah tarbiyyatul ulum menjadi incaran atau hanya ketakutan akan absen yang mendendakan. Masihkah bedug di tabuh tanda malam, tanda shalat di laksanakan, tanda syawir di mulai atau hanya sekedar tanda penuh santai.
Sugeng dalu…            Masihkah pengumuman pengurus lantang di suarakan atau hanya jadi tanda horee buat para santri, masihkah lonceng jam dinding sudi berbunyi lembut di tengah malam, masihkah pengajian malam selepas isya menjadi perburuan?, atau hanya sekedar momen tiduran antara barokah dan ilmu atau menunggu jajan dan sego dalam. Semoga saja tidak. Masihkah tangan-tangan lembut masayaikh di alap barokahnyaa, masihkah khitobah di serukan?, masihkan perbedaban penuh makna di syawir malam menjadi hiburan yang asyik?, atau para santri segera keluar demi malam mingguan, semoga saja tidak. Masihkah belajar bersama berderet rapih di meja panjang pengajian?, atau tidur yang utama. Masihkah syair-syair lantunan doa mawlaya menjadi pertanda semangat, masihkah ro’an massal jadi kebersamaan ataukah segera menghidar, semoga saja tidak. Seandanya tiap shalat langkah kaki kita seperti menemkan sego dalem dapat di pastikan syaf-syaf sholat banyak terisi.
Apa kabarmu duhai pondok panggung?Semoga kau baik-baik saja.
Walau hanya sekedar bersapa salam.
Khususon ila arwahi Almaghfurllah KH.Asrori Ibrohim, KH. Syafi’I Abdurrahman dan KH. Abdul Aziz (Pendiri jam’iyyah sholawat Nariyah Tulungagung) wa zawjati dan salam ta’dzimku kepada pengasuh pondok Ibu Nyai Hj. Asrori Ibrohim, segenap dewan masayikh dan poro asatidz MTU, yang terhormat segenap para pengurus dan tak lupa seluruh santri yang berbahagia, terkhusus santri asrama Sunan Giri, lebih khususnya asrama G2 (Mas Ndomz, kang Ronguf, Rongis, kang Agung, Si Kubet, Nijems, Faridz, Obama, Ventin, Kape’it, Kobier, kang Mus, Pak Nur, gando dan bento)yang tiap hari mengiringi jejak langkahku.
Aku jadi mengerti di tempat ini, banyak hal yang kudapat disini.
Semoga ilmunya barokah
Semoga kita bertemu lagi.
 
*Panggung, 26 November 2015
 
Kosong, hilang, fana
Matanya tajam melebihi elang
Memantau siapa saja yang bersembunyi
Lidahnya tajam melebihi pedang
Menyayat siapa saja yang melanggar
Tanganya kekar melebihi besi
Memukul siapa saja yang berkelakar
Kakinya kuat melebihi karang
Menendang siapa saja yang membangkang
Siapa Dia?
Ia tak takut dengan derasnya hujan
Ia tak gentar dengan kilatnya halilintar
Ia tak ubah oleh pusaran badai
Siapa dia?
Manusia atau bukan?
Bukan manusia?
Namun Ia takut pada tuhan.
 
 
Aku di tanya engkau menjawab
Engkau bertanya kau pula yang menjawab
Engkau merana aku kesana
Aku yang senja aku yang nestapa aku yang terkoyok
Aku adalah buta
 
 
Kala senyumanmu menjatuhkan setiap bunga di taman
Aku tersipu, diam
Kala rambutmu terurai lurus memainkan tiap angin yang berhembus
Aku malu,
Aku membisu
Aku sadar
Bahwa cintaku padamu
Bagai bumi dan langit
 
 
 
Ku tatap wajahnya
Anggun dan teduh
Tiap kali ia tatap aku
Aku menunduk

Jikalau suatu hari ku ingat dirimu, bolehkah aku mengunjungimu?








Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde