Langsung ke konten utama

Mengomentari Netizen

Woks

Yang paling mudah itu berbicara dan yang paling sulit adalah aplikasinya. Begitulah kondisi masyarakat kita kini. Sudah sejak lama, pasca mengidap penyakit bernama banyak bac*t masyarakat kita memang terkenal mudah bicara tapi miskin aksi. Di perparah dengan hadirnya teknologi berupa media sosial. Kita bisa dengan mudah melihat pembicaraan orang silih berganti, hilir mudik tak beraturan. Semua orang mendadak seperti para ahli. Dan memang keahlian mereka adalah berkomentar. 

Paling sering kita tahu adalah saat tim sepak bola Indonesia kalah dari lawanya. Seperti yang baru saja terjadi kala timnas Indonesia harus mengakui keunggulan tim Vietnam dengan skor 3-0 untuk kemenangan Veitnam di final cabang sepak bola Sea Games 2019 di Philipina. Orang akan membanjiri dunia maya dengan berbagai macam komentarnya. Parahnya mereka hanya mampu komentar, tanpa pernah memperdulikan psikologis objek yang mereka komentari. Lebih parah lagi umpatan, hujatan selalu menghujani saat kekalahan terjadi. Semua kata dan komentar itu berubah bagai pecut, menusuk seperti pisau.

Jika kita analisis dengan saksama. Netizen Indonesia lebih cenderung menyalahkan ketimbang membenarkan. Lebih suka melemahkan daripada menguatkan. Mereka lebih senang membully dari pada mensupport. Sehingga tak aneh jika masyarakat kita selalu mengandalkan tradisi lisan daripada tradisi tulisan. Pengetahuan menjadi pinggiran dan emosional jadi tumpuan. Mereka sedikit amnesia bahwa lidah memang tak bertulang. Dalam pepatah arab berkata "bahayanya kata adalah banyak bicara sedang bahayanya lisan adalah mudah tergelincir dalam kenistaan". Orang Jawa bahkan sering memberi pepeling bahwa "ajine diri gumantung ono ing lathi", kemulyaanya diri terdapat dari apa yang diucapkanya. Maka darisanalah anda akan paham betapa pentingnya berhati-hati dalam berkata. Baik dalam media tulis maupun lisan. Adagium "mulutmu harimaumu' bisa berubah jadi "cuitanmu harimaumu".

Seseorang memang sangat tidak mudah menerima kondisi yang tidak sesuai realitas pemikiranya. Sehingga dari sikap itu seseorang cenderung berpikir sempit, fanatisme dan mudah menghujat. Perihal utamanya ialah karena ukuran realitas selalu berpedoman pada pikiran subjektif. Jika ukuran analisis dan pengetahuan yang dipakai tentu orang-orang akan lebih mudah diam ketimbang berkomentar. Tapi harus diakui bahwa kehidupan dunia maya memang mencitrakan hal itu. Katanya jika tak komen rasanya gatal, dunia serasa sepi dan tak bergerak, tidak asyik dan kehilangan bumbu penyedap. Kalimat satire itulah yang menjadi tumpuan seseorang dengan mudah berkomentar. Orang Jawa menyebutnya dengan "cangkeman", istilah untuk orang yang berkomentar tanpa dasar.

Netizen Indonesia itu sampai diberi gelar "maha benar dengan segala komentarnya". Hal itu melekat karena "suwung" yang akut. Apa saja bisa mereka komentari. Mulai sesuatu yang remeh seperti bunyi klakson "om telolet' sampai kasus perceraian artis hingga kekalahan sepak bola. Efek yang ditimbulkan karena banyak komen adalah kehilangan diri. Mereka seperti teraleniasi bahwa dunia ini adalah ruang publik yang bebas tanpa memperdulikan hak privat. Ketidaksadaran itulah yang membawa dampak hilangnya pengetahuan. Tapi saya tidak mengatakan bahwa Netizen kita jelek semua. Masih ada Netizen kita yang memiliki rasa iba, simpati dan tentunya terus mensupport. Sekarang tinggal memetakan saja lebih banyak positif atau negatifnya.

Baik dunia maya maupun nyata, sesungguhnya mengandung lautan rimba yang harus diarungi oleh setiap orang. Karena dalam diri manusia terdapat sifat anjing (kirtiyyah) maka, jangan aneh jika hal positif pun bisa dikomen, lebih-lebih yang negatif. Seorang polisi boleh saja berhasil menangkap pencuri tapi, apakah mereka yakin bisa mengembalikan nama baik pencuri itu di masyarakat. Inilah yang disebut sebagai romantika kehidupan. Selalu ada plus minus yang bersanding. Maka sebagai insan yang berpengetahuan seharusnya kita lebih jernih dalam memperoleh sumber informasi. Buka dari "katanya si anu" tapi, dari sumber langsung yang lebih valid.

Jika kita adalah pembelajar sejati kondisi apapun tentu akan diterima. Anggap saja komentar adalah jamu yang pahit. Ia akan meruang dan mewaktu dalam tubuh yang menjadikanya energi. Kadangkala komentar diperlukan agar membuat kita terus berintrospeksi diri tiada henti. Sekalipun berbuat baik tentu pepatah selalu berbunyi "memang rumput tetangga selalu tampak lebih hijau". Siapkan diri anda sekarang juga sebelum bersua para Netizen yang budiman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde