Langsung ke konten utama

Menyelami Dunia Anak

Woks
Anak adalah harta paling indah bagi orang tua. Kehadiran anak memang selalu ditunggu. Mereka adalah alasan mengapa orang tua rela melakukan apa saja demi kebahagiaan anak. Termasuk memilihkan sekolah terbaik buat mereka. Bagi orang tua memberi pendidikan yang terbaik merupakan sebuah kewajiban. Karena memang pendidikan adalah hak dasar yang harus diterima anak-anak. Baik pendidikan formal maupun informal.

Bermain adalah dunia anak. Begitulah kiranya yang harus dipahami orang tua dan guru. Dengan menjadi anak-anak, orang dewasa telah satu langkah mengikuti alur mereka. Hal yang kini kita temui adalah terpangkasnya dunia anak bahkan sampai menghilangkanya. Tak jarang dunia anak yang seharusnya meski mereka nikmati, kini malah telah terjarah oleh hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa. Tak aneh jika dunia sekitar kita banyak anak-anak dibawah umur yang sudah ikut bekerja. Bahkan ironinya ada juga yang bekerja menafkahi keluarganya. Faktor ekonomi dan kesiapan orang tua dalam finansial merupakan salah satu yang merenggut dunia mereka. Anak-anak dipaksa untuk lebih awal dalam merasakan dunia yang keras.

Sepanjang perjalanan anak akan mengikuti apa yang mereka lihat. Sehingga anak-anak memiliki kemampuan imitasi yang baik. Mereka adalah peniru ulung. Anak akan memiliki rekaman yang baik dalam melihat sekelilingnya. Maka tak aneh jika lingkungan mampu membentuk kepribadian anak. Untuk persoalan hak dan kewajiban anak-anak akan melihat apa yang dilakukan oleh orang tua dan guru. Jadi jika ada anak yang tak menurut alias sedikit membelot jika diperintah, maka yang mereka amati hanya dari perkataan. Dari sanalah anak hanya akan melihat apa yang mereka lihat, bukan apa yang mereka dengar.

Sejauh ini para orang tua belum bisa menjadi contoh yang baik bagi anak-anak mereka. Sehingga orang tua masih bersikap ambivalensi. Di mata anak orang tua adalah role model, contoh terdekat bagaimana mereka tirukan. Jadi orang tua dan pendidikanya merupakan faktor keberhasilan dalam mencetak pribadi baik anak. Dengan memberi contoh yang baik anak-anak akan menirukan tanpa perlu diperintah dengan keras.

Anak-anak memiliki perasaan. Mereka seperti tulang yang mudah patah. Sehingga amat berbahaya jika anak terus-menerus dikerasi. Terlalu lunak pada anak pun berbahaya, bisa manja. Jadi kesimpulanya sesuaikan sikap kita terhadap mereka. Bahkan orang tua merupakan sekolah di mana anak-anak belajar mengenali diri mereka sendiri. Jika kita telah mengetahui apa yang anak butuhkan maka kita akan mudah untuk menuntun jalan mereka hingga ke arah kemandirian.

Selamilah dunia anak dengan riang gembira. Bagaimanapun anak tetaplah anak, darah daging manusia yang harus dipahami dan dimengerti. Jika kita telah paham dengan dunia anak maka mereka bisa jadi kebanggan kedua orang tua. Anak adalah jalan terakhir untuk meneruskan perjuangan orang tuanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde