Langsung ke konten utama

Setengah Windu Menapaki Jalan Sunyi


Woks
..
Tidak terasa sudah 4 tahun aku menyusuri jalan kesunyian. Jalan yang tidak semua orang mau melewatinya. Sejak Januari tahun 2016 aku memang telah beritikad untuk memulai pengembaraan itu, tepatnya tanggal 7 awal bulan di tahun 2016. Pare Kediri adalah tempat di mana awal kaki pena itu melangkah. Tentu selama setengah windu itu perjalanan tidak selamanya mulus, selalu ada jalanan berliku yang pernah aku temui. Walau demikian aku telah sampai hingga hari ini. Walau target belum terasa puas setidaknya aku bersyukur, Tuhan telah mencerburkanku ke dalam samudra yang menyenangkan ini.

Jalan kesunyian adalah istilah untuk orang-orang yang menghidupi dunia literasi. Kita tau bahwa dunia literasi selalu berkaitan dengan membaca dan menulis, walaupun versi lengkapnya literasi itu bermakna luas. Menulis adalah salah satunya. Menulis adalah jalan sunyi, hal itulah yang juga diikuti oleh orang-orang seperti lembaga pers, penulis, akademisi, pencari data, dan para pembelajar. Melalui menulislah mereka bisa menghasilkan karya, dari menarikan pena nya.

Hingga 7 januari tahun 2020 ini aku belum begitu menikmati proses panjang dengan menghasilkan karya yang bagi diriku memuaskan, kecuali beberapa karya dalam bentuk antologi. Aku juga belum melahirkan buku solo yang berbobot, kecuali masih dalam draft angan-angan. Tapi aku yakin suatu saat harapan itu akan aku wujudkan. Menulis memang sesuatu yang menyebalkan. Sehingga dengan hanya berkata-kata sangat mudah sekali, akan tetapi jika akan dituliskan semua kata-kata itu mendadak sirna. Inilah perlunya kita bersepi dari keramaian demi untuk menulis. Belum lagi berbenturan dengan malas dan alasan inspirasi belum muncul, kita menjadi payah dan terhenti. Maka menulis memang bukan upaya banyak alasan tapi upaya banyak kerjaan.

Semua orang bisa menjadi penulis, tapi tidak semua orang bisa jadi produktif. Dan hal itu aku rasakan pasang surutnya, mulai dari semangat membara, loyo, diam bahkan berhenti. Stagnansi menulis memang sering kali terjadi sebab dunia begitu dinamis. Kita tak mungkin selalu berada dalam zona nyaman. Sehingga tantangan dan ujian selalu bersama para penulis. Menulis memang bukan perkara mudah. Sebab menulis adalah seni berkata-kata dalam bentuk aksara kata.

Aku merupakan orang yang terlambat mencintai buku, tulisan bahkan kekasih. Tapi terlambat bukan berarti tidak sama sekali. Aku justru mulai belajar bahwa keterlambatan ini mengandung banyak hikmah.Mulai kuliahlah aku mengenal buku, lalu segera bergegas berlari menuliskanya. Itu adalah satu cara agar aku mengejar keterlambatan dari orang lain. Memang salah satu tabiat dasar manusia adalah selalu merasa iri dan tak ingin tersaingi. Maka dari itu respon atas fenomena itu, aku segera menemukan metode sendiri bagaimana menikmati dunia sunyi ini.

Perjalanan awal hingga menulis dan dibukukan tentu bersama mahasiswa Bidikmisi, yaitu melalui buku "Jalan Terjal Meraih Mimpi Kuliah (sebuah catatan 49 mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi)". Selanjutnya ada Merajut asa, Aku, Buku dan Membaca, Setangkai Daun, Musafir Ilmu, Dzikir Pena Santri, Insan Jomblo Community dan lainya. Semoga saja karya tersebut masih berlanjut sepanjang hayat di kandung badan. Walaupun karya itu masih terbilang ringan, setidaknya aku merasa senang, sebab kebahagiaan membukukan catatan adalah sejarah tersendiri. Mungkin saja momen itu akan selalu aku ingat hingga tua nanti, betapa tulisanku begitu lucu untuk aku baca dan aku tertawakan sendiri. Bagi orang lain boleh saja tak berarti, tapi bagi diriku hal itu adalah sesuatu yang tak ternilai.

Kini langkah itu semakin panjang. Tapi setidaknya aku terus semangat, karena beberapa kawanku telah mengikuti jejak seperti para ahli sunyi dengan mencatat namanya. Buku memang bukan segalanya, tapi dari bacaanlah semua hal bisa tercerahkan. Kita mungkin bisa membuka mata sejarah pernah mencacat bahwa Eropa pernah mengalami satu masa bernama kegelapan (the dark age). Semua itu karena segala macam pemikiran dibatasi, bahan bacaan dibunuh, suara dibungkam, pendapat dicekal dan segenap dogma lain dari gereja terus dilancarkan. Tapi setelah mereka bangkit era Rainasance atau zaman pencerahan, akhirnya mereka sadar bahwa kemajuan bisa diraih dengan keterbukaan, pertukaran ilmu, pengembangan sumber daya manusia, dan merubah pola pikir.

Aku sadar bahwa membuka pola pikir terkait pentingnya membaca dan menulis, sulitnya minta ampun. Ia layaknya hidayah pada sebuah kepercayaan agama. Sehingga jika buka karena Tuhan dan dirinya, hidayah itu tak akan kuasa turun. Selama proses menulis ini berlangsung, aku merasa banyak hal yang kudapatkan. Mulai dari pertukaran pengetahuan sampai serangkaian pengalaman. Aku merasa dunia tidak asyik jika tak ditulis. Kita tidak mungkin bisa melihat masa lalu jika bukan dari lisan dan tulisan. Sumber lisan boleh saja pernah di dengar, akan tetapi ada saatnya ia akan hilang dari pendengaran. Tapi sumber tulisan selamanya akan abadi. Setidaknya untuk satu abad ke depan. Tanpa ditulis sesungguhnya pengetahuan hanya akan mengikis hakikat peradaban itu sendiri. Maka dari itu menulis merupakan langkah untuk ikut melestarikan peradaban. Minimal peradaban pada diri sendiri.

Aku bukan tipe seseorang yang tegar dalam menghadapi masalah. Sehingga jika perempuan mampu mengalihkan perasaan lewat tangisan, setidaknya aku pun mengalihkan perasaan lewat tulisan. Anda bisa cari secara kuantitas berapa jumlah laki-laki yang selalu hidup bersama buku bacaan. Yang setiap hari ia mencacat apa yang ditemui, apa yang dirasakan dan apa yang dibaca. Tentu jawabanya masih amat langka. Dr Ngainun Naim pernah mengatakan bahwa penulis itu memang benar-benar mahluk langka. Maka dari itu aku adalah bagian dari mahluk langka itu. Sebelum semuanya berakhir punah, maka aku putuskan untuk menulis. 

Sengaja aku suguhkan narasi ini dengan sedikit panjang dengan tujuan untuk mempersuasi diriku sendiri. Minimal aku tidak berhenti di sini. Maka dari itu aku libatkan Tuhan agar semua rasaku ini tidak segera padam. Aku yakin bahwa tulisan lebih bertahan lama dari panjangnya usia. Dan memang benar bahwa tulisan yang bermanfaat akan melebihi usia penulisnya. Aku ingin tulisan sederhanaku bisa dibaca anak cucuku kelak. Walau semua melelahkan setidaknya aku tetap semangat untuk terus menapaki jejak ini sampai nanti. Kita akan terus memiliki tanggungjawab untuk terus menebarkan virus pengetahuan. Aku yakin, selelah apapun kita dalam belajar pasti ada upaya untuk mengabarkan kepada orang lain. Anggap saja hal itu adalah dalam rangka menzakati pikiran. Aku menganggap bahwa apa yang kita pelajari ada 2,5 persennya untuk dikabarkan kepada orang lain. Dan salah satu metode untuk menyebarkanya ialah dengan pendidikan dan menulis.

Jika Tuhan mengutus utusanya (rasul) untuk mengajarkan wahyu, setidaknya kita juga utusan untuk menebar kebaikan. Pengetahuan harus menjadi arus utama. Agar masyarakat kita tercerdaskan, tercerahkan, jauh dari keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan dan masalah sosial lainya. Hanya dengan pendidikanlah orang bisa melepas belenggunya sendiri. Sekarang masihkan kita tertidur? Jika iya, segeralah bangkit, bangun lalu katakan pada dunia jika kita mampu untuk menuliskanya. Sejarah kemarin adalah milik orang tua, lalu sejarah hari esok adalah milik pemuda, sedangkan sejarah hari esok dan masa depan adalah milik penulis.

Sumber gambar: Canva

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde