Langsung ke konten utama

Kebaikan dalam Sebuah Keranjang


Woks

Kita mungkin pernah mendapati sekaligus tahu secara langsung ada pedagang yang jujur atau kikir. Bagi pedagang yang jujur sudah jelas ia memberikan arahan bahwa barang dagangannya ini dan itu yang masih bagus. Mereka juga tak segan memberi tahu bahwa timbanganya masih berfungsi baik. Tidak hanya itu mereka juga selalu memberikan uang kembalian jika ada lebih. Atau jika tidak sempat bertemu si pembeli biasanya penjual itu akan mentasyarufkan uang tersebut ke kotak amal.

Orang-orang jujur memang selalu punya kesan istimewa. Seperti halnya selalu bersedekah walau dia pun masih keadaan susah alias kekurangan. Orang-orang jujur itu tidak mudah menyerah, murah ibadah, ringan tangan dan pastinya tidak menghalalkan segala cara. Meminjam istilah Ahmad Tohari orang-orang baik itu tandanya matanya enak dipandang.

Berbeda dengan pedagang yang tidak jujur alias banyak ngibulnya. Biasanya mereka sering menutupi keadaan barang dagangannya, menggiring opini untuk membeli barang yang ia tunjukan padahal realitasnya kosong alias fake life. Mereka juga tak segan-segan mengurangi timbangan, sering pula harga dinaikan sak karepe dewe. Jika soal uang lebih pastinya langsung ditilep. Orang-orang seperti ini lebih mudah kita dapati, salah satu faktornya mereka tidak berdagang ala Nabi. Cara di mana dorongan spiritualitas membawa aspek positif. Justru orang-orang tidak jujur itu jika ngomong banyak bulshit nya. Mereka memang lebih tampak seperti orang rasional bahwa untuk kaya itu harus meraup sebanyak mungkin keuntungan. Sehingga jika soal uang selalu nomor satu, entah jika soal Tuhan nomor berapa?

Mari kita tinggalkan sejenak pedagang kikir. Saat ini kita akan belajar kepada pedagang di Turki tepatnya tradisi yang diwariskan sejak zaman Turki Utsmani. Di sana selain penampilan dan sikapnya yang ramah dan asyik (walau tidak semua) seperti halnya pada pedagang es krim khas Turki (Dondurma). Saat ini kita juga akan belajar dari tradisi unik berupa kembalian dan krinjang/keranjang khususnya roti istilahnya Askida Ekmek. Ekmek sendiri berarti roti sedangkan askida adalah istilah untuk menangguhkan. Bagi masyarakat Turki roti adalah salah satu makanan wajib sehingga makanan itu menjadi kebutuhan pokok. Bahkan dulu zaman kesultanan masih berdiri roti sangat dihormati sebagai makanan kerajaan.

Tradisi askida ekmek sama halnya dengan sadaka taşı (batu amal) atau di kita yaitu kotak amal. Tujuannya yaitu menyediakan makanan (roti) gratis bagi mereka yang membutuhkan. Caranya yaitu dari hasil kembalian yang lebih atau pembeli biasanya membeli 4 potong roti lantas 3 dibawa pulang ke rumah sedangkan yang 1 disimpan di keranjang gantung. Yang disimpan di keranjang itulah nantinya akan dibagikan kepada mereka yang membutuhkan. Sehingga penjual-pembeli plus beramal. Jika pedagang makanan di kita ada yang seperti ini mungkin rasanya tidak ada orang yang kelaparan. Bukankah sabda Nabi saw sangat jelas bahwa "tidak (sempurna) iman seseorang yang kenyang perutnya sedang tetangga sebelahnya kelaparan.” (HR al-Baihaqi).

the woks institute, 7/7/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde