Woks
Hari ini kita selalu diliputi kesedihan setelah beberapa hari lalu telah banyak orang biasa dan tokoh-tokoh besar pergi begitu cepat menghadap keharibaanNya, kali ini saatnya Eyang Sapardi. Beliau meninggal diusia sepuh 80 thn dengan segala mahakaryanya akan tetapi usia tersebut terasa masih kurang khususnya bagi kami pemuda. Kami masih belum mengenal beliau kecuali lewat puisi-puisinya terutama si Hujan di bulan Juni. Tapi kini hujan dan tangis air mata mengguyur di bulan Juli. Mungkin sebenarnya hujan di bulan Juni telah menjadi isyarat mengantarkan kepergianmu satu bulan setelahnya.
Usman arRumy, Jokpin, NH Dini, Fiersa Besari, Sutardji CB, Sitok Srengenge, GM, Gus Mus, KH Dzawawi Imron Si Clurit Emas, S. Leak, Candra Malik, Prie GS, Najwa Shihab serta sederet orang yang pernah dekat dan sepanggung dengan beliau pasti amat sangat kehilangan. Jangankan orang-orang Top itu, orang biasa seperti kita pun merasa kehilangan. Karena beliau sendiri pernah berkata bahwa puisinya bukan miliknya akan tetapi milik semua. Kita juga tidak bisa membayangkan betapa sedihnya Ari Reda si pelantun musikalisasi itu, juga Ebiet G Ade yang beberapa kesempatan Eyanglah yang menjulukinya "penyair beneran". Lantas apalagi yang kini kita renungi atas kepulangan beliau, kecuali beranjak untuk mengikuti jejaknya.
Jejak yang sunyi itu kini hanya bisa kita nikmati lewat media audio visual, serta potongan surat undangan pernikahan yang dalam suatu waktu membuat iri Usman arRumy. Ia bahkan bercita-cita untuk menjadi penyair seperti Eyang Sapardi. Di mana sajak-sajak selalu terasa remaja, terasa penuh manja. Kita juga tidak bisa membayangkan sajak yang melegenda itu tercipta dari orang sesepuh beliau. Atau memang semua karena jalanya yang terlalu sunyi. Atau beliau memang dilahirkan sebagai pembawa risalah kesusastraan.
Chairil Anwar, HB Jassin, S Pane, Kuntowijo, WS Rendra, Wiji Thukul, Amir Hamzah, Umar Kayyam dan lainya telah menunggu Eyang Sapardi di alam yang penuh kecintaan itu. Mereka juga sama-sama telah menunggu penyair kenamaan itu. Pada suatu Sapardi Djoko Damono yang selalu kita kenang sebagai manusia rendah hati, sederhana, pecinta ilmu dan pastinya romantis. Eyang telah mengajarkan kepada kita untuk terus menggali potensi diri bahwa esok pemudalah penerusnya. Eyang, puisimu tak akan menua dan kau benar bahwa yang fana hanyalah waktu tapi kau dan karyamu tetap abadi. Selamat jalan Eyang, kami mengenangmu. Al Fatihah
the woks institute, 19/7/20
Komentar
Posting Komentar