Langsung ke konten utama

Silaturahmi Virtual


Woks

Sejak pandemi Covid-19 masif ke hampir seluruh penduduk bumi, kini kita telah berjalan hampir separuh musim. Dengan keadaan yang tidak seperti pada umumnya. Kita dihimbau untuk jaga jarak, memakai masker, selalu mencuci tangan dan hati-hati terhadap batuk pilek. Kita memang telah memasuki kenormalan baru (new normal) yaitu sebuah fase di mana-mana orang harus memperhatikan protokol kesehatan demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

Saat ini di masa pandemi yang mana jumlah orang positif semakin meningkat kita juga telah melahirkan tradisi baru bernama jaga jarak. Tradisi itu kini bahkan telah membudaya di manapun tempatnya. Khusus  di ranah sosial, pendidikan, politik dan ekonomi juga ikut terkena imbasnya. Salah satu dampak ke ranah sosial adalah kesulitannya silaturahmi, sedangkan pendidikan masih diurungkanya pembelajaran secara tatap muka langsung. Imbas politik dan ekonomi tentu sangat kentara di mana kebijakan dan kenaikan atau penurunan harga barang jasa sangat kita rasakan.

Akan tetapi persoalan ruang gerak yang terbatas itu nyatanya tidak selalu benar. Saat ini terutama di ranah sosial dan pendidikan telah terbantu dengan adanya teknologi. Kita masih menikmati tatap muka walaupun via monitor. Setidaknya dengan cara itu dunia yang jauh jadi dekat, yang berat jadi ringan, yang susah jadi mudah serta efesiensi lainya. Dari berbagai vitur yang ditawarkan smartphone tersebut kita bisa memanfaatkankanya terutama untuk komunikasi, orang Jawa dulu mengistilahkannya dengan ilmu nikel jagat, artinya ruang waktu bisa diakses dengan mudah di zaman ini.

Teknologi memang menjadi alternatif di saat-saat seperti ini. Saat kita ingin bersilaturahmi antar satu sama lain pada saat ini teknologilah yang dapat membantu mewujudkan keinginan tersebut. Berbagai aplikasi di smartphone seperti Video Call WhatsApp, Zoom, Googlemeet dan banyak lagi lainya telah berhasil memberikan ruang baru agar sesama dapat bertemu. Walau pertemuan tersebut masih terkendala data paket internet, akses wifi, signal, dan fitur pendukung HP setidaknya komunikasi atau silaturahmi bisa terjalin. Tanpa mengurangi rasa sekalipun jauh rasanya canda, tawa dan pesan kabar masih bisa kita dengarkan.

Intinya sederhana terlepas dari baik buruknya teknologi setidaknya silaturahmi harus tetap terjalin. Kita hanya bisa memanfaatkan kecanggihan zaman dengan sebaik mungkin. Sehingga persoalan komunikasi tidak ada alasan untuk berdalih bahwa kita tak mampu. Pada akhirnya ketidakmampuan adalah niatan diri kita sendiri yang mungkin telah diobok-obok oleh rasa lain yang mengepung seperti malu, minder, gengsi dan tak punya waktu. Saat ini mulailah untuk bertekad bahwa silaturahmi dalam bentuk apapun harus kita pegang erat sekalipun badan berjauhan, sekalipun status telah berganti dan walaupun hanya dalam dunia virtual. Semoga Allah SWT mempertemukan kita kembali dalam sebuah momen kebahagiaan.

the woks institute, 13/7/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde