Langsung ke konten utama

Ikut Organisasi Siapa Takut!

Woks

Saat perjalanan pulang dari sebuah warkop, angin membisik di telingaku. Katanya kurang lebih begini, "bro, sekarang banyak anak muda yang tak mau ikut organisasi". Mendengar pernyataan memilukan itu aku hanya terdiam. Selain merenung dan tersenyum. Ku timpali angin, "sekarang kamu tanya mereka apa alasanya?". Akhirnya sang angin pun pergi meninggalkanku dengan menanggalkan seutas kertas berisi alasan itu.

Alasan pertama mengapa anak muda tak minat dengan organisasi adalah karena para petinggi di negeri ini telah dihuni oleh masing-masing orang. Presiden sudah ada, Bupati sudah ada bahkan sampai ketua RT pun sudah ada. Kata mereka "lalu kita mau apa?".

Alasan kedua penyebab anak muda tak berminat ikut organisasi karena organisasi sebagai wadah tak mampu memberi ruang kepada anggota untuk berekspresi. Organisasi justru menjadi sarana formalitas penggugur kewajiban. Tak ada upaya riil kecuali serangkaian wacana motonon yang tertulis lengkap dibuku catatan. Sehingga fenomena itu tak membuat pemuda turut rembug dalam sebuah pergerakan. Alih-alih ingin perubahan yang dirubahpun tak memiliki solusi.

Alasan ketiga dari semua hal yang ada kenapa pemuda enggan mengikuti organisasi yaitu faktor "M' alias malas. Menurut mereka organisasi itu hanya buang-buang waktu. Organisasi hanya buaya yang mencaplok sebagian waktu dari kegemaran mereka. Sehingga organisasi ibarat pasar hanya menguntungkan sebagian orang. Sedang disatu sisi yang lain hanya imbas dari kerugian yang terstruktur. Anggapan inilah yang melahirkan organisasi seperti jual beli. Apa keuntungan dan kerugianya.

Membaca alasan tersebut tentu harus diakui bahwa setiap orang membawa visi misinya masing-masing. Maka dari itu visi yang berbeda tersebut tak dapat berdiri sendiri kecuali pada kerangka individualis. Organisasi merupakan kerja-kerja yang bersifat tim atau kerja kolaboratif. Di dalam organisasi tidak ada individu yang paling terbaik, semua sama. Sebab dalam kelompok harus mengandalkan kerjasama. Bukan kerja sendiri. Satu sama lain bagai perangkat yang memiliki keterikatan. Inilah pentingnya berorganisasi. Itu baru satu sisi, sedang masih ada sisi lain dari organisasi.

Organisasi selain sebagai zona belajar, ia juga sebagai proses penempaan. Kita tak akan mungkin hidup sendiri. Kecuali dalam diri seseorang terdapat rasa yang melemahkanya. Salah satu alasan itu karena sikap apatis. Lenang Manggala, Founder Gerakan Menulis Buku Indonesia pernah mengatakan soal ini bahwa "barangkali memang bisa membunuh jutaan orang. Tetapi apatisme, selalu berhasil menghancurkan ratusan tahun peradaban". Dari pernyataan itulah seharusnya kini kita sadar bahwa sudah tak layak jika sikap itu hadir dalam diri kita. Sehingga organisasi menjadi tidak penting. Jika pun demikian lalu apa karya pribadi kita?

Akhirnya aku pun berpesan pada angin sampaikanlah kepada para pemuda itu bahwa negeri ini bukan hanya butuh pemuda pencari solusi, tapi butuh banyak pemuda yang berani membawa perubahan, begitu ungkap Arief Subagja. Sekarang apa lagi yang harus kita perbuat selain bergerak bersama arus untuk memperjuangkan yang harus diperjuangkan. Jika berkaca pada para pahlawan tentu kita tak sampai. Jika demikian berkacalah pada diri sendiri untuk mempersembahkan yang terbaik bagi negeri ini. Salah satu jalan itu adalah dengan berorganisasi. Kata Sayyidina Ali KW "Kebenaran yang tak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir." Anda siapa berorganisasi?

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde