Langsung ke konten utama

Optimalisasi Peran Guru untuk SDM yang Lebih Baik

Woks

Kita telah sampai lagi pada peringatan hari Guru Nasional 25 November 2019. Hari di mana para guru bercermin kembali sudahkah mereka dikatakan sejahtera? padahal jasa mereka bagi bangsa ini amatlah besar. Atau pun jika pemerintah menagih tentu seperti tarik ulur, apa yang telah guru berikan untuk negeri ini. Pekerjaan mereka amatlah berat. Sebab guru bukanlah profesi. Guru adalah kerja-kerja keikhlasan, tanpa pamrih, dan pendidik untuk pengabdian.

Guru merupakan pilar bangsa yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Kehadiran guru dalam mengentaskan buta aksara, kebodohan, ketimpangan dan masalah pendidikan lainya tentu harus diapresiasi dalam ruang kinerjanya. Salah satunya memberi mereka kepercayaan dengan anugerah dan penghargaan. Walau sesungguhnya mereka tidak berharap dan memintanya. Ada atau tidak adanya penghargaan itu, guru tetaplah guru. Mereka terus memompa semangat sebab tanpa tanda jasa. Inilah apresiasi tertinggi buat mereka.

Kini peran guru semakin ganda, tidak hanya sekedar mengentaskan peserta didik dari jembatan ke jembatan lain, tetapi harus mampu juga berpikir inovatif, menciptakan suasana kelas yang menyenangkan, mengetahui potensi siswanya, membuat siswa semakin cinta ilmu, dan terpenting adalah memberi teladan pada mereka. Sehingga guru tidak hanya "digugu dan ditiru", tapi juga rekan atau partner yang baik bagi setiap siswa.

Di era milenium ini tentu kehadiran teknologi sangat membantu dalam pembelajaran yang disampaikan guru untuk siswanya. Namun, hal itu tidak semudah yang dibayangkan. Masih banyak guru-guru yang belum mampu mengoprasikan peran teknologi secara optimal. Sehingga hal itu menjadi peran bersama untuk memberikan pembekalan kepada para guru untuk ikut merespon perkembangan zaman. Hari ini pun yang dihadapi para guru adalah siswa yang cara berpikirnya instan, bukan seperti zaman old yang semuanya didasarkan pada praktek dan kepekaan sosial. Sehingga menghadapi siswa yang milenial harus pintar-pintar memutar otak agar value seorang guru melebihi siswa-siswi nya. Setidaknya pamor seorang guru tidak jatuh sebagai sosok public figure kedua setelah orang tua.

Kita mungkin tahu bahwa kualitas sumberdaya manusia di Indonesia masih tergolong rendah. Sehingga belum terciptanya pembelajaran yang kolaboratif. Kita lebih banyak tahu tentang "menyuruh" atau memberi perintah daripada ikut bersama dalam sebuah kerja-kerja pendampingan. Walau pun ada saatnya seorang guru melepaskan siswanya agar mampu berpikir mandiri istilahnya "you do i watch". Tentu tidak hanya peran guru secara formal di kelas, peran kiai atau ustadz di pesantren pun sama yaitu ikut serta dalam mendidik siswa atau santrinya dengan baik. Sebab potensi dan minat mereka berbeda-beda. Guru tentunya berperan tidak hanya membuat siswanya sekedar mampu menjawab soal tapi mampu melahirkan kepekaan sosial, tidak hanya mampu menulis secara formal tapi menuliskan peradaban, dan tentunya tidak hanya mampu membaca buku tapi membaca kehidupan. Inilah yang sulit. Sebab semua hal tersebut harus menyeimbangkan antara faktor anak, orang tua dan guru itu sendiri.

Hari guru lahir bukan dari ruang hampa. Tentu hari guru juga bukan hanya sekedar peringatan biasa. Melainkan upaya untuk mengingat kembali semangat dan bercita-cita kedepan demi kualitas pendidikan yang baik. Semoga semua guru di manapun berada mereka masih tetap terus semangat memijarkan asa cahaya perubahan keseluruh negeri. Mencerdaskan kehidupan bangsa yang berdasarkan kepada keadilan sosial dan ikut dalam perdamaian dunia. 
Selamat Hari Guru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde