Langsung ke konten utama

Tradisi Rimba Lembaga Pers Mahasiswa..

Oleh Woks

Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) adalah wadah berekspresinya mahasiswa dalam merawat kata dan informasi. Lembaga ini hadir karena gejolak terjadi di mana-mana, baik ranah regional maupun nasional. Gejolak itulah yang membuat mahasiswa terus berusaha agar mampu keluar dalam permasalahan.

Hidup menjadi mahasiswa tidak selamanya menarik jika hanya diam. Sesungguhnya ideologi dinamis harus dimiliki setiap mahasiswa. Hal itu dapat memproyeksikan bahwa mahasiswa benar-benar hidup. Kehidupan mahasiswa seharusnya merupakan perayaan bagi setiap ekspresi. Akan tetapi saat ini kita dapati bahwa mahasiswa tidak seprogresif dulu. LPM selama ini dimaknai sebagai tempat pelarian bagi mereka yang sedang gelisah.

Pada semangat itulah LPM memberi kabar segar untuk mengkader mahasiswa agar mampu berproses bersama. Proses kaderisasi LPM cenderung memiliki coraknya sendiri. Hal itu menandakan bahwa iklim di LPM harus menyesuaikan dengan keadaan yang dihadapi. Sebab yang kita ketahui bahwa LPM cenderung berhadapan dengan hal-hal yang berkaitan dengan birokrasi.

Tradisi pengkaderan dalam LPM hampir bertetangga seperti skorsa pada pendadaran  TNI dan kepemimpinan. Anda bisa bayangkan para calon penulis diharuskan untuk tahan banting saat kesunyian datang, tahan uji saat harus melahap banyak bahan bacaan, dan tahan terhadap jalur kesunyian berupa menulis.

Para calon penghuni LPM itu diharuskan melewati masa pengkaderan selama semalam suntuk. Tak jauh berbeda dengan pagelaran wayang. Mereka akan mendapatkan materi sepadat mungkin. Mulai dari materi menulis, membaca, wacana pers, videografis, elemen jurnalis, straight news, dan banyak lagi. Semua materi itu adalah asupan gizi yang harus dikonsumsi oleh crew baru sebelum terjun ke lapangan. Para crew baru harus dibekali materi tersebut karena sebagai pisau bedah dalam menghadapi masalah yang ada.

Setelah mengalami masa lanjut, para crew dituntut untuk mengalahkan rasa malasnya sendiri. Salah satu hal lain ialah mewadahi liarnya pemikiran dengan control menulis dan belajar. Di alam nyata nanti, para jurnalis akan terjun dan menghadapi masalah yang harus dilandasi dengan kode etik.

Tradisi pengkaderan LPM sesungguhnya menyaratkan bahwa masuk organisasi ini harus bersungguh-sungguh. Sebab LPM merupakan zona bergerak yang menguras tenaga dan pikiran. Semua yang dilakukan tanpa bayaran. Ikhlas dan perjuang adalah satu dari sekian komponen yang harus dimiliki setiap crew. Sikap mental itulah setidaknya akan membentuk mentalitas mereka bahwa LPM memiliki misi progresif yang dipertanggungjawabkan. Anda tertarik masuk LPM?



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde