Langsung ke konten utama

Santri dan Dunia Sastra (1)




Woks

Apakah benar pesantren menjauhkan santri dengan sastra. Apakah pesantren hanya mewadahi kitab kuning, bahasa dan tradisi amaliyah sedangkan seni sastra tidak diperhitungkan. Barangkali demikianlah skeptis kita terhadap tradisi pesantren yang melihat sastra masih sebelah mata. Padahal tradisi kebahasaan menjadi penunjang utama pesantren sejak dulu bahkan sampai hari ini pesantren modern hadir dengan program penguasaan bahasa asingnya.

Tidak salah memang bagi sebagian orang yang berpandangan bahwa pesantren masih belum mampu mewadahi santri dan sastra secara serius. Pasalnya pesantren yang bercorak tradisional masih fokus dengan penguasaan kitab kuning. Sedangkan pesantren modern justru terdepan dalam hal penguasaan bahasa asing (Arab Inggris) akan tetapi sedikit lemah dalam ilmu alat/gramatikal (nahwu dan sharaf). Lantas di mana pesantren memposisikan sastra dalam tradisi keilmuannya.

Jika melihat sejarah sebenarnya santri dan sastra tidak bisa dipisahkan. Cuma akhirnya semakin kemari kita berupaya menghadirkan sastra khas pesantren sekaligus bertanya coraknya seperti apa. Akan tetapi kita tidak pernah kehilangan akar sejarah bahwa santri dan pesantren tidak bisa dipisahkan dengan sastra sebagai produk adiluhung hasil mempelajari kitab suci dan laku hidup sehari-hari.

Dulu seorang santri Kiai Ageng Hasan Besari bernama Bagus Burhan pernah mondok di Pesantren Gebang Tinatar Ponorogo. Dia yang akhir dalam catatan sejarah kita kenal sebagai Raden Ngabehi Ranggawarsita sang pujangga besar Surakarta. Karya-karya Ranggawarsita di antaranya yang terkenal yaitu Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Kalatidha, dan Serat Sabda Jati. Tidak hanya itu serat-serat kuno, naskah, babad, kidung, macapat, manuskrip yang bercorak sastra juga ikut ditemukan dan menandakan bahwa sastra tidak bisa dipisahkan dalam tradisi keilmuan pesantren.

Para santri bercorak sufi umumnya yang sering membuat syair-syair dan sastra tersebut. Para sufi sekaligus pujangga Melayu seperti Syeikh Nuruddin Ar Raniry, Syeikh Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji hingga HAMKA mereka adalah produk dunia pesantren. Para kiai di Jawa pun tak mau kalah di sini banyak juga ditemukan syair, nadhom hingga madah berisi pujian kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Bahkan dakwah Walisongo tidak bisa dipisahkan dengan sastra yang digubah dalam bentuk tembang macapat, dolanan, puji-pujian dan pesan moral. Tentu hal ini adalah literatur yang tidak boleh dilupakan dalam tradisi keilmuan pesantren baik sebagai sumber informasi juga sebagai metode dakwah.

Mengapa sastra begitu penting dalam dunia pesantren karena seperti kegundahan penyair Taufik Ismail kini justru banyak penyair yang hanya memunculkan corak seksualitas dalam karya sastranya. Oleh karenanya santri sebagai muslim output pesantren tentu harus menjawab tantangan ini bagaimana sastra pesantren hidup kembali. Kegamangan itu juga datang dari Hendra Hendriana Haris alias Gol A Gong yang pasca wafatnya Syeikh Nawawi al-Bantani dan Max Havelaar justru di Banten kehilangan estafet penulis produktif. Maka dari itu ia mendirikan Rumah Dunia sebagai tempat berproses anak-anak muda Banten dalam menulis dan bersastra.

Hal lain yang perlu dicatat adalah seperti pendapat Sastrawan Ahmad Tohari bahwa anak-anak Indonesia kini mengalami kekeringan sastra. Akibatnya mereka kehilangan kepekaan dan sentuhan batin serta rasa empati terhadap lingkungan sekitarnya. Apalagi era saat ini sebagian kehidupan telah diambil alih oleh gadget sebagai produk teknologi. Bahkan dunia pesantren pun tak mau kalah mewadahi science, teknologi dan masih meminggirkan keberadaan sastra. Menurut Dyah Ayu Fitriana hal ini terbukti bahwa di pesantren kelas bahasa dan sastra begitu kurang diminati. Oleh karena itu kelas-kelas bahasa juga sangat perlu untuk ditingkatkan lagi dalam proses penguatan literasi pesantren.

Sastra seharusnya menjadi ladang yang luas dikaji para santri selain sebagai penunjang keilmuan sastra juga bisa menjadi barometer membentuk akhlak. Dari sastra menjelma bahasa dan tatakrama hal inilah barang yang menjadikan santri lebih memiliki keunggulan daripada yang lain.

*Artikel ini dipost juga di blog PSP UIN SATU Tulungagung

the woks institute l rumah peradaban 1/3/22




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...