Langsung ke konten utama

Berumah di Perpustakaan (2)




Woks

Di sudut perpustakaan tertulis dengan jelas, "Perpustakaan adalah tempat untuk memenuhi dahaga pengetahuan" demikianlah pesan KH. Abdurrahman Wahid tempo hari. Pesan tersebut sangat relevan di mana guru atau perpustakaan tidak bisa digantikan oleh teknologi sekalipun. Gus Dur menyadari bahwa lewat buku dan perpustakaan seseorang dapat menambah kapasitas keilmuannya. Gus Dur telah membuktikan selama beberapa tahun di mana ia lebih senang ke perpustakaan dan main bola daripada kuliah pada saat itu di Mesir - Baghdad. Setelah itu beliau menyempatkan hidup di perpustakaan Tebuireng, menikmati saat-saat sendu bersama buku.

Tempo hari saya membaca surat terbuka dari aktivis literasi dan para pegiat di Taman Baca Masyarakat (TBM) yang intinya menuntut seorang anggota DPR di daerah Sulawesi Utara untuk mengklarifikasi penjelasannya bahwa Google lebih baik daripada perpustakaan. Tidak hanya itu DPR tersebut menyayangkan jika perpustakaan harus lebih dulu dibangun daripada fasilitas umum lainnya misalnya jalan atau gelanggang olahraga. Akan tetapi para aktivis yang salah satunya Kang Maman (notulen) dan Beny Arnas menyadari bahwa setiap daerah kebutuhannya berbeda mungkin saja di tempat tersebut perpustakaan lebih diutamakan dulu karena proses pemerataan fasilitas pengetahuan harus didahulukan.

Akan tetapi yang disayangkan para aktivis adalah seorang anggota DPR tidak layak berkata demikian. Karena jika perpustakaan lebih baik dari Google berarti ia tengah mencedrai orang yang berjuang untuk memajukan masyarakat. Bisa dibayangkan jika hal itu dikatakan oleh orang putus sekolah maka wajar saja tapi ini anggota DPR yang seharusnya menjadi panutan. Bagaimana pun juga perpustakaan itu penting karena tidak bisa dimanipulasi pengetahuannya. Sedangkan Google rawan untuk diselewengkan apalagi saat ini cyber crime mudah dijumpai.

Memang selama ini perpustakaan masih belum dianggap fasilitas penting lebih lagi di desa. Padahal menurut data perpustakaan di Indonesia sudah mencapai 164.000. Angka tersebut sekaligus menganulir bahwa Indonesia rendah tingkat literasinya ke 60 di atas Botswana. Padahal kategori menurut orang Eropa tersebut sejatinya bermasalah. Bisa dibayangkan 270 juta lebih penduduk Indonesia dibandingkan dengan 4-7 juta negara Skandinavia seperti Finland atau Irlandia. Tentu ketidakadilan kategori tersebut juga tidak pernah melihat bagaimana perpustakaan jalanan bergerak, lapak baca digelar dan mobil-mobil pengangkut buku bersiaga. Hal-hal itulah yang buta menurut warga Eropa dan tidak masuk dalam kategori mereka. Orang Eropa hanya tau soal kuantitas tapi alpa soal kualitas dan perjuangan di tingkat dasar.

Lalu mengapa perpustakaan serasa dijauhi oleh masyarakat? Sampai-sampai ada guyonan bahwa perpustakaan adalah satu dari sekian tempat paling sunyi dan seram setelah kuburan dan kamar mayat. Mungkin juga hal tersebut banyak faktor mengapa perpustakaan bukan pilihan bagi siswa atau masyarakat secara umum.

Bisa jadi faktor pertama adalah pemustaka alias pustakawan yang ternyata tidak suka baca. Ditemukan di lapangan beberapa pustakawan ternyata tidak bisa memberikan informasi akurat kepada pembacanya. Misalnya ketika ditanya genre buku tertentu mereka justru tidak tahu padahal pustakawan bekerja bukan soal mencatat alur sirkulasi buku keluar masuk tapi meliputi banyak hal. Kedua, bisa jadi karena faktor kurasi yang tidak maksimal menjadikan orang bingung. Misalnya banyak genre buku yang tidak sesuai dengan raknya, ada buku cuma karena namanya Cristie atau Kristin di masukan pada kategori buku bacaan kristiani padahal belum tentu dll.

Ketiga, genre buku kadang berpengaruh. Misalnya orang malas membaca karena buku cenderung monoton hanya itu-itu saja. Di sana pun tidak dijumpai buku-buku yang justru mendekatkan anak muda dengan minatnya. Kadang perihal genre buku juga tak kalah pentingnya untuk menarik masa. Keempat, program perpustakaan yang monton. Kadang perpustakaan kita masih belum maksimal dalam mensosialisasikan betapa pentingnya membaca. Perpustakaan masih belum memiliki program yang asyik dan dekat kepada masyarakat. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya pengelola perpustakaan sendiri justru mereka yang tidak memiliki tradisi membaca.

Kelima, minat baca rendah. Jika sudah masuk minat baca maka ini masalah akut, penyakit yang harus terus diobati. Karena membaca juga selalu berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat di suatu daerah lebih lagi berdampak pada negara. Persoalan minat baca tentu akan mengalami tantangan melawan minat media alias dunia gadget. Kita belum menuju ke gemar membaca sudah menemui jalan terjal. Maka dari itu membaca harus terus diperjuangkan ke khalayak ramai. Lewat bacaanlah kita bisa melihat betapa beradabnya seseorang. Tentu bukan sekadar baca buku. Jika soal baca buku paling akhir dampaknya hanya bisa bicara alias memperkaya bahasa, akan tetapi jika membaca dalam konteks luas dampaknya juga luar biasa.

Di sesi akhir suatu hari saya sempat menulis bahwa salah satu faktor kebesaran orang-orang sukses adalah seberapa banyak bukunya di rumah. Mereka menyadari bahwa buku sebagai asupan gizi otak harus tak boleh kalah dari gizi untuk perut. So, apa boleh buat mari berkunjung ke perpustakaan atau buat perpus sendiri di rumah. Seperti Emha Ainun Najib yang memfungsikan kamar tidak sekadar tempat tidur tapi sudut baca yang asyik. []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde