Langsung ke konten utama

Gadget dan Autisme Media Sosial




Woks

Paradoks gadget sudah kita rasakan sejak setiap orang memiliki benda satu ini. Dulu orang tua generasi old memprediksi bahwa nanti ada zaman di mana orang akan bicara, tertawa, menangis sendiri. Ternyata zaman itu adalah ketika sambungan gelombang elektromagnetik masuk dalam sistem komunikasi bernama telepon. Mungkin sistem yang tak perlu terpaut jarak waktu akan tetapi bisa menangkap suara bahkan visual tersebut tidak pernah dipikirkan oleh homo lain non Sapiens.

Teknologi adalah suatu keniscayaan dari pesatnya perkembangan sains. Akan tetapi bukan tanpa alasan teknologi membawa penyakitnya tersendiri. Salah satu penyakit media adalah kehilangan empati sosial. Penyakit ini disebabkan karena penggunaan gadget yang berlebihan. Penggunaan gadget yang tak terkendali menyita sebagian kehidupan manusia istilahnya teraleniasi. Orang-orang fokus karena terlalu khusyuk di depan layar sehingga mereka lupa ada layar nyata bernama masyarakat.

Ada satu penyakit yang juga dilahirkan karena gadget yaitu autisme media. Istilah autisme sebenarnya merujuk pada anak dengan gangguan perkembangan terutama dalam sistem syaraf otak. Lebih lengkapnya autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang muncul di awal kehidupan seorang anak ditandai dengan ketidakmampuan untuk berhubungan dengan orang lain, masalah pada komunikasi dan adanya pola tingkah laku tertentu yang diulang-ulang.

Menurut Dr. Leo Kanner psikiater Universitas Johns Hopkins dicirikan dengan ketidakmampuan melakukan interaksi sosial kepada orang lain, keterbatasan berbahasa, dan tentunya kegagalan membangun komunikasi. Ciri-ciri secara fisik yaitu tidak adanya kontak mata, gangguan atau kerusakan (impairment) pada interaksi sosial, komunikasi dan pola tingkah laku.

Jika dikaitkan dengan gadget maka autisme media adalah gangguan yang membuat pengidapnya merasa tidak bersalah alias mati rasa. Kita mungkin mudah menemukan tipe orang dengan gangguan semacam ini. Bahkan saking asyiknya dengan gadget sampai-sampai mereka abai dengan lingkungan sekitar. Autisme media juga bisa disebut maniak atau gangguan kecanduan yang tak terkendali. Dulu kita sempat mendengar kabar ada orang meninggal karena terperosok ke dalam sungai karena demam mencari pokemon go. Cuma karena mengikuti adrenalin semu serta rasa penasaran dari gadget nyawa bisa melayang.

Ada juga orang yang diajak bicara tapi fokus dengan layar monitor karena bermain game, asyik nge-tweet atau scroll jual beli online sehingga tidak mengindahkan sekelilingnya. Ada juga mereka yang tak kenal waktu bermain medsos dan game sepanjang hari bahkan sampai lupa makan, mandi ibadah sehingga hidup hanya di ruang maya tersebut, serta banyak lagi kisah lainnya.

Jika saat ini orang telah kehilangan kendali dengan gadgetnya berarti benda kotak persegi itu bermasalah. Seharusnya kita sadar bahwa gadget dipakai seperlunya saja tanpa harus menyita waktu berpikir. Gadget memang selama ini melalui notif medianya telah membuat manusia digiring mengikuti algoritma. Jika algoritma tersebut mengikuti hal-hal positif mungkin agak lumayan baik akan tetapi bagaimana jika mengikuti hal-hal negatif. Maka dari itu media dan perangkatnya adalah ujian atau cobaan bagi kita di akhir zaman. Kanjeng Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan seribu tahun lalu bahwa ada peperangan yang dahsyat selepas perang Badar yaitu perang melawan hawa nafsu. Dan gadget serta media canggihnya adalah syahwat serta nafsu itu sendiri. Mari kita taklukkan!

the woks institute l rumah peradaban 22/9/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde