Langsung ke konten utama

Review Buku Penanganan Anak Berkebutuhan




Woks

Membaca buku ini asyik. Saya mendapatkan buku tersebut ketika bazar kemarin dengan harga hanya 20 ribu saja. Walaupun mungkin nampak murah akan tetapi buku ini cukup lengkap dalam menjelaskan isi. Selain lebih singkat padat buku ini juga ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami. Buku murah tapi tidak murahan.

Buku ini merupakan modul ajar 4 SKS pada jurusan PGTK Universitas Terbuka. Buku yang terdiri atas 12 bab tersebut termasuk lengkap khususnya dalam memberikan pengetahuan seputar problem psikologi di tingkat dasar. Selain disertai ilustrasi masalah buku ini juga dilengkapi dengan rangkuman materi dan soal tes formatif. Jadi bagi kita pembacanya dapat sekaligus belajar dan mengaplikasikannya.

Di antara bab yang menarik dan patut untuk dibaca adalah; anak dengan perilaku insecure, anak dengan masalah fungsi bahasa & intelektual, anak dengan gangguan ADD/ADHD, anak dengan ketidakmatangan sosial emosional, anak dengan gangguan autism, anak dengan masalah perilaku agresif dan lainya.

Membaca buku ini saya menjadi paham bahwa ketika menghadapi anak dengan gangguan yang beragam itu setidaknya kita bisa lebih profesional dalam penanganannya. Setidaknya ada perbedaan orang yang memahami ciri umum anak berkebutuhan khusus dengan yang tidak mengetahui. Penanganan anak berkebutuhan memang perlu ilmu serta metode yang tepat. Karena kita bukan ahli maka dari itu membaca barangkali merupakan kebutuhan sekaligus alternatif.

Misalnya untuk mengetahui masa awal seorang anak berkebutuhan atau tidak, orang tua dan guru bisa mengkomparasikan antara pendekatan perkembangan (development approach) dengan psikopatologi perkembangan (development psychopathology). Selain itu anak dengan beragam karakter tersebut memiliki kunci yang sama yaitu ingin dicintai, dihargai, dilindungi, dan diperhatikan. Karena baik mereka anak normal maupun berkebutuhan semua sama-sama memiliki perasaan.

Anak-anak dengan gangguan seperti tempertantrum, ADD/ADHD, autism, retardasi mental atau disabilitas fisik pun sebenarnya memiliki potensi dan bakatnya tersendiri. Orang-orang seperti Albert Einstein dan Leonardo Davinci barangkali salah satu dari sekian banyak orang berkebutuhan akan tetapi memiliki bakat yang luar biasa. Maka dari itu hal ini bagaimana cara penanganan dan perlakuan terutama di masyarakat. Selama ini kita memang terus berupaya untuk mengedukasi masyarakat agar lebih inklusif serta menerima mereka dengan segala kelebihannya.

Selama ini anak berkebutuhan terus meningkat jumlahnya. Faktor tersebut disinyalir karena lingkungan saat ini sudah tidak sehat lebih lagi soal makanan. Anak berkebutuhan justru cenderung dibentuk karena pola makan tidak baik, lingkungan sekitar serta faktor hereditas atau genetika. Soal lingkungan tentu sangat berpengaruh sekali dalam membentuk karakter anak. Jadi di sana terdapat pola saling pengaruh-mempengaruhi atau dibentuk dari reaksi yang diterima dari faktor eksternal. Faktor ekonomi ternyata juga menjadi nomor sekian akan tetapi ada perbedaan antara ekonomi rendah dan tinggi.

Dalam hal perlakuan anak-anak berkebutuhan orang tua ekonomi rendah cenderung menekankan pada kualitas pribadi yang bersifat eksternal seperti kepatuhan, kesopanan, kerapian dan kebersihan. Sedangkan orang tua ekonomi ke atas cenderung menekankan pada rasa ingin tahu, kebahagiaan, kemampuan mengarahkan diri sendiri, kematangan kognitif dan kematangan sosial. Pola asuh juga sangat berperan di sini misalnya ayah yang bersimpati lebih pada anak berkebutuhan cenderung mereka yang ekonomi ke atas. Sedangkan ayah dengan ekonomi rendah cenderung acuh karena mereka bingung, tidak memiliki cukup ilmu dalam memecahkan masalah.

Barangkali atas apa yang ada di buku ini bisa jadi kita tidak sepakat. Akan tetapi setidaknya manfaat membaca buku ini atau secara umum psikologi adalah dapat mengidentifikasi, menangani problem pada anak. Selain itu orang tua dan guru akan mengetahui rambu-rambu serta batas tertentu dalam menghadapi anak-anak istimewa tersebut.

Judul buku : Penanganan Anak Berkebutuhan
Penulis : Rini Hildayani, dkk
Penerbit : Universitas Terbuka
Cetakan : ke-XX 2016
Halaman buku : 348 hlm
ISBN : 979-689-872-1

the woks institute l rumah peradaban 8/9/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde