Langsung ke konten utama

Berumah di Toko Buku (1)




Woks

Mendengar banyak toko buku yang berguguran nampaknya menggugah hati ini untuk segera mengevaluasi diri. Toko buku sebagai supplier pengetahuan setelah perpustakaan justru pamit gulung tikar. Bagi kita yang mencintai buku mendengar kabar tersebut pasti akan merasa kehilangan. Apalagi toko buku yang sejak kita kecil melewati hari-hari dalam pusaran zaman nan cepat punya sejarah sekaligus kenangan.

Saya mungkin bukan konsumen tetap toko buku yang saban gajian menyisihkan uang untuk membeli buku. Akan tetapi saya telah berkomitmen untuk membeli buku ketika book fair atau bazar buku hadir di kota. Sebagai mahasiswa kere tentu saya pernah berkunjung ke toko buku untuk melihat ada koleksi buku baru. Di toko buku tentu akan sangat menarik kala saya mengimajinasikan bahwa di antara tumpukan sumber pengetahuan tersebut saya berada di sana. Entah sebagai pekerja atau justru sebagai pemilik toko buku tersebut.

Dalam sejarah hingga saat ini beberapa toko buku yang pernah saya jajaki yaitu TB. Toga Mas yang ada di barat BCA pusat sekitar pertokoan Tulungagung. Saya juga pernah ke TB. Salemba yang ada percis di belakang Masjid Agung Al Munawwar Tulungagung. Saya juga pernah ke TB. Satelit yang berada di depan RS. Bhayangkara Tulungagung, salah satu toko buku lawas yang koleksinya bertumpuk-tumpuk. TB dan kitab Al Hidayah di depan Pasar Kalangbret, TB dan kitab PP. Panggung Tulungagung. Untuk luar kota mungkin saya pernah ke TB depan Yazid Center Pare Kediri, Gramedia Malang, toko buku di sekitaran Taman Pintar Jogjakarta dan TB/percetakan Khalista Surabaya. Mungkin pengalaman itu pada akhir masa akan menyisakan kenangan tersendiri.

Saya mungkin tidak seberuntung Muthia Esfand seorang traveler, sekaligus penulis buku "Dari Toko Buku ke Toko Buku". Ia telah banyak mengunjungi toko buku dan perpustakaan yang ada di belahan dunia. Maka pantaslah dalam perjalanan berkunjung ke toko buku tersebut Muthia menuangkannya dalam sebuah buku tersebut. Walaupun demikian saya tidak pernah rugi bisa berkenalan dengan buku dan tokonya. Buku bagi saya adalah bagian dari hidup yang sebagian besar membentuk peta pemikiran. Lebih lagi saat berkunjung ke toko buku harum baunya yang khas lebih nikmati dari semerbak penjual sate atau kuah soto.

Sebenarnya jika mau berkesadaran bahwa toko buku itu tidak sekadar bisnis melainkan juga bertujuan untuk mencerdaskan anak bangsa. Misalnya beberapa kali toko buku menggelar event lomba, seminar literasi, pameran, workshop kepenulisan, memberikan reward, memberikan diskon dan tentunya give away lainnya. Toko buku adalah usaha komplit selain menjual buku tentu bisa sebagai kegiatan sosial.

Lantas mengapa saban hari toko buku pamit undur diri? apa faktor penyebabnya. Salah satu yang ironis adalah toko buku sekitar kampus justru pamit lebih awal. Padahal jika dilogika buku bacaan merupakan kebutuhan wajib mahasiswa selain laptop dan gadget. Beberapa faktor mengapa toko buku kalah dalam percaturan bisnis di era saat ini. Pertama, toko buku melawan keniscayaan yaitu proses digitalisasi yang tak terbendung. Keberadaan e-book atau buku digital juga menjadi penyebab mengapa toko buku sulit keluar dari zona nyaman. Ditambah keberadaan buku bajakan juga semakin merusak keadaan pasar.

Kedua, minat baca yang semakin menurun serta kemudahan akses internet menjadi pelengkap mengapa buku dalam bentuk fisik kalah dalam persaingan. Saat ini segala kemudahan di internet menjadi penyebab buku bukan pilihan, kendati secara marketing buku dijual dengan cara online. Toko buku dengan lapak serta ruko yang mengontrak belum lagi membayar karyawan sedangkan jumlah permintaan sepi maka pantaslah jika kini semakin ditinggalkan. Belum lagi serangkaian inovasi adaptif tidak dijalankan maksimal oleh toko buku. Mereka hanya menjadi penjual dan tentu sangat berbeda dengan oplah penerbit, percetakan sekaligus penjualan.

Ketiga, keberadaan buku yang sulit dijangkau karena tidak melihat pasar bisa juga jadi sebab. Ditambah lagi harga buku yang tidak terjangkau oleh masyarakat melengkapi derita untuk bersiap dijauhi pembacanya. Masih sangat sedikit pembaca rakus kita temui yang membeli buku tanpa mempertimbangkan harga. Selain itu masyarakat kita bukan tipe pembaca sekaligus belum menganggap buku sebagai kebutuhan utama. Bagi masyarakat makan lebih penting daripada buku yang suatu saat tertumpuk di kamar. Paling sesekali menjadi perjamuan tikus-tikus. Nampaknya ketiga faktor itu menjadi prediksi riil di mana toko buku yang tidak adaptif terhadap perubahan akan segera tumbang.

Dari beberapa faktor tersebut hal yang selalu saya khawatirkan hanya satu yaitu harga buku. Maka pantaslah kami sebagai pecinta buku kere memiliki guyonan, "kita selamanya akan mencintai buku tapi tidak pada harganya". Ini baru soal harga buku bagaimana jika setiap toko buku di Indonesia memiliki tradisi seperti di Jepang yaitu "Tachiyomi" atau sebuah tradisi membaca di toko buku tanpa harus membelinya. Mungkin jika hal itu terjadi Indonesia akan melaju pesat dalam hal peradaban sekaligus melahirkan polemik baru toko buku tak pernah ada.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde