Langsung ke konten utama

Banom NU Plosokandang Adakan Bukber dan Istighosah




Woks

Pada Ramadhan tahun 2023 ini ada yang berbeda dari Desa Plosokandang. Perbedaan itu barangkali karena bersyukur atas pandemi yang telah berakhir. Nampak perbedaan tersebut disyukuri oleh Banom NU se Plosokandang.

Banom NU Plosokandang yang terdiri dari Muslimat, Fatayat, Anshor, Banser, IPNU, IPPNU dan Pagar Nusa mengadakan buka puasa bersama dan istighosah. Acara tersebut juga diselingi dengan pembagian takjil pada para pengguna jalan. Acara ini diselenggarakan di Masjid Nurul Huda PP Mbah Dul Plosokandang. Acara ini dihadiri oleh tokoh, ulama, masyarakat dan kepala desa.

Saya dan rombongan bersama Abah tentu menjadi bagian untuk mewakili pondok pesantren yang ada di Plosokandang. Maka dari itu kami hadir di masjid yang legendaris tersebut. Acara ini diawali dengan upacara seremonial dan sambutan masing-masing oleh Abah Nur Aziz Muslim dan Bapak Agus Waluyo. Setelah itu pembacaan aurad istighosah yang dipimpin oleh KH Abdul Cholis. Barulah terakhir mauidhoh hasanah oleh KH Abdul Kholiq.

Seperti biasa sebelum mauidhoh hasanah dimulai Abah Kholiq pasti memulai dengan srakal alias mahalul qiyam. Kata beliau bacaan srakal adalah salah satu bentuk penghormatan sekaligus menghadirkan ruh Nabi Muhammad SAW. Setelah itu beliau dawuh. Ada 3 hal saya catat dari dawuh beliau seperti yang sudah kita ketahui. Pertama, rajinlah nderes Al Qur'an dan semoga wasilah Ramadhan bulan mulia ini kita mendapat hidayah untuk membuka kitab suci mukjizat Nabi Muhammad SAW tersebut.

Kedua, khususnya warga Nahdliyyin jangan lupa untuk sering mengamalkan seperti Yasinan, Tahlilan, Manaqiban, Sholawatan, Istighosah, Ziarah dll. Karena semua amaliah tersebut adalah warisan dari Mbah-mbah kita dulu. Hal itulah yang sekaligus menjadi tirakat mengapa kita bisa melewati misalnya dulu konteknya adalah dijajah oleh Belanda. Akan tetapi hingga kini kita masih berdiri kokoh sebagai sebuah bangsa yang eksis.

Ketiga, jangan bosan untuk tetap kompak dan selalu kempalan guyup rukun dalam bahasa beliau Abah Kholiq. Karena kita tahu seperti dawuh Mbah Wahab Hasbullah bahwa tidak ada obat paling mujarab selain persatuan. Persatuan itulah menjadi dasar, menjadi modal untuk kita optimis melangkah. Ingat bahwa persatuan harus kita pupuk terutama jika kita ingin diakui santrinya Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari.

the woks institute l rumah peradaban 15/4/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde