Langsung ke konten utama

Roasting Lebaran





Woks

Beberapa orang teman bertanya sudah diroasting apa saja ketika halal bihalal ke rumah tetangga? Pertanyaan menggelitik itu tentu sangat mudah ditebak akan tetapi sukar dijawab. Topik roasting nya pasti seputar keluarga, pekerjaan, hingga asmara. Roasting lebaran memang menu utama selain sajian jajan yang terhidang di meja.

Secara arti bahasa sederhana roasting berarti "memanggang". Roasting juga bisa diartikan "menyangrai" biji kopi hingga matang dan siap dihaluskan. Tapi dalam konteks ini roasting berarti, "gojlokan, candaan, bullyan, njarak". Istilah roasting memang semakin populer ketika dijadikan salah satu program televisi dan memang bagian dari acara stand up comedy.

Di momen lebaran para roaster memang sedang panen. Dan lebih ngenes lagi mereka para objek roasting kebanjiran gojlokan salah satunya saya sendiri. Cuma jika mereka ahlu roasting, lambe turah, tetangga hingga saudara datang untuk meroasting kita sebagai objek santai saja. Kita hanya perlu menyiapkan mental dan tak usah dianggap serius. Anggap saja segala macam roastingan merupakan bentuk motivasi sekaligus dukungan untuk menatap masa depan. Tapi memang lagi-lagi lihat dulu isi roasting nya seperti apa.

Contoh beberapa roastingan yang khas lebaran. "Pehh kok dewe ae rene ora eman ta, jok buri montor e ra kangge nu".

"Le, le, truk wae gandengan, kok saman milih dewean".

"Nyohh tak sangoni, ben semanget lek golek jodo, ehh".

"Keseso men to lek wasul, opo enek seng golek i nek omah".

Demikianlah beberapa contoh roasting yang khas sekaligus makjlebb. Tapi jika semua dianggap guyonan maka hasilnya akan santai. Karena bagaimanapun guyon adalah katalisator agar suasana menjadi cair. Pada prinsipnya gojlokan itu tidak menyakiti hati. Dan memang tujuannya sederhana untuk hiburan. Cuma perlu diingat ada batas-batas tertentu yang tidak boleh ditembus oleh guyonan misalnya terkait keturunan, jalan hidup, pilihan keyakinan, problem rumah tangga hingga status sosial.

Roasting lebarang memang lebih banyak mengarah kepada ahlu jumbala alias kaum jomblo. Walaupun beberapa mengarahkan pada objek lain seperti keluarga dan pekerjaan. Perlu diingat bahwa roasting tidak boleh kelewat batas. Kita hanya perlu memaknai roasting sebagai guyonan biasa. Orang itu jangan mudah marah nanti cepat tua. Orang itu jangan terlalu serius nanti cepat mati, kata orang tua. Hidup itu rileks saja dan hindari ketegangan. Dulu Nabi juga pernah bercanda.

Salah satu canda Nabi paling masyhur adalah ketika jagongan bersama sahabat dan Sayyidina Ali. Kata Sayyidina Ali ketika jamuan makan kurma, "Kui lho lurrd delok en sopo seng maem kurmo paling akeh dewe, yo Kanjeng Nabi". Seraya menaruh biji-biji kurma di depan Nabi tanpa sepengetahuan beliau.

Kanjeng Nabi pun dengan santai membalik keadaan, "Lha yo to lurrd, jek mending kulo maem kurmo mung daging e mawon. Lha Ali kui sak wijil-wijil e, nyatane nok arep e ra ono opo-opo ne". Semua orang di sana pun akhirnya tertawa melihat pemandangan tersebut. Betapa guyonan Nabi tidak menyakiti justru ada logika yang dibangun.

Sekali lagi untuk semua dulur-dulur yang menjadi objek roasting saat lebaran, santai saja. Saya secara pribadi pun sudah tatag alias kebal dan siap mental. Semua adalah proses dan pada akhirnya ada masanya. Bukankah waktu itu fana dan kitalah yang abadi, kata Mbah Sapardi. Tetap tenang dan fokus saja, perjalanan masih teramat panjang. Roasting boleh saja yang penting ada amplop nya haha.

the woks institute l rumah peradaban 28/4/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde