Langsung ke konten utama

Pesan Abah Sholeh Pada Penutupan Ramadhan 1444




Woks

Seperti biasa tiap tahun para santri akan mendapatkan wejangan dari pengasuh. Sebelum pulang ke kampung halaman untuk berlebaran maka wejangan tersebut menjadi sangu di rumah. Setelah acara seremonial penutupan seperti pembacaan ayat suci al Qur'an dan sholawat. Lalu disambung dengan petuah dari Abah Sholeh.

Adapun beliau dawuh pada santri sebagai berikut:

1. Lailatul Qadar iku asline ono ben dino tiap wengi, cuma adewe ae seng ra perduli. Lailatul Qadar itu sebenarnya ada tiap malam, cuma kita saja yang tidak peduli.
2. Golek ilmu tanpo sanad koyok luruh kayu ing waktu bengi. Mencari ilmu tanpa sanad ibarat mencari kayu di waktu malam.
3. Shodaqoh sirr iso nanggulangi bendune pengeran. Shodaqoh sirr bisa menanggulangi murkanya Allah SWT.
4. Lek muleh salaman ngetokne tawadhune. Jika nanti pulang ke rumah jangan lupa salaman, perlihatkan tawadhune nya.
Demikianlah dawuh Abah Sholeh untuk para santri PP Himmatus Salamah Srigading di momen ramadhan tahun 2023. Dawuh tersebut tidak perlu dijelaskan secara detail cukup diresapi dan dihayati sudah sangat jelas. Maka dari itu sebagai santri laiknya perlu untuk melaksanakan dawuh tersebut sebagai sebuah laku hidup.

Dengan dawuh tersebut Abah Sholeh menginginkan agar para santri segera sadar dan terus berupaya memperbaiki diri. Karena perihal diri ini tidak semua orang mau mencari nya.[]

the woks institute l rumah peradaban 15/4/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde