Langsung ke konten utama

Berkunjung ke Museum Wajakensis Tulungagung




Woko Utoro

Bicara homo Wajakensis pernah suatu ketika saya menyinggungnya. Kini saya singgung kembali dan menjadi topik utama. Ya, Wajakensis adalah satu dari sekian hal mengapa saya bisa terdampar di kota Marmer ini. Sekitar tahun 2015 ketika saya di rumah dan hendak ke Tulungagung, istilah Wajakensis sudah familiar diketahui. Istilah itu sudah hidup sejak saya duduk di bangku kelas 4 SD. Hingga kisah berlanjut saya tahu Wajakensis berada di Tulungagung, tempat saya menimba ilmu.

Wajakensis adalah salah satu spesies homo Sapiens yang pernah ditemukan dalam sejarah manusia purba di Indonesia. Spesies tersebut ditemukan di sekitar pegunungan marmer di Wajak hingga Besole Campurdarat Tulungagung. Fosil homo Wajakensis yang diperkirakan hidup 40.000 tahun tersebut ditemukan oleh B. D. van Rietschoten pada 1889 dan dilanjutkan penelitiannya oleh Eugene Dubois. Homo Wajak tentu menjadi pengetahuan tentang manusia purba selain yang berada di Sangiran Ngawi, Soloensis, Mojokertensis maupun Besse Sulawesi.

Meganthropus Paleojavanicus, Pithecanthropus Erectus atau Kyoken Modinger, Sorfopagus dll merupakan istilah yang sudah saya ketahui sejak lama. Sayangnya pengetahuan tersebut hanya sekadar pengetahuan. Selama hampir sewindu saya di Tulungagung belum satu kali pun berkunjung ke Museum Wajakensis. Padahal jaraknya amat dekat dan saya sering bolak-balik ke sana. Mungkin demikianlah sejarah akhirnya pada 14 Juni 2023 saya bersama Pepy bisa berkunjung ke museum tersebut. Di sana saya melihat replika serta beberapa peninggalan zaman purba dan kerajaan yang masih tersisa bersama pengetahuan yang ada.




Ketika masuk di dalam museum kita akan disambut dengan 2 arca Dwarapala. Setelah itu di dalam terdapat replika manusia Wajak dengan ciri-ciri kening datar serta dagu menonjol. Di sana juga terdapat patung dari sebuah candi, artefak, tembikar, mata uang kuno, prasasti, relief, alat menangkap ikan, dan beberapa arca. Intinya ketika saya di dalam rasanya sangat puas. Kendati koleksi museum tersebut tidak se-lengkap yang ada di Trowulan, yang jelas sudah cukup membuat saya menghilangkan dahaga sejarah.

Intinya saya sangat bahagia bisa masuk ke museum yang memang gratis tersebut. Seolah-olah saya sedang mengikuti frekuensi pengetahuan yang telah lama terendap dari hasil bacaan masa kecil. Terlebih lagi ketika saya baca karya Yuval Noah Harari tentang Sapiens tentu menambah pengetahuan saya akan spesies manusia cerdas tersebut. Maka dari itu jangan berhenti untuk membaca. Bisa jadi entah dibacaan yang mana kita akan dipertemukan dalam sebuah kenyataan. Dan hari itu juga relasi bacaan saya di SD terwujud seketika di saat saya berada dalam museum tersebut.

the woks institute l rumah peradaban 26/6/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde