Langsung ke konten utama

Hati Suhita : Kisah Dinginnya Seorang Lelaki




Woko Utoro

Rerata para pembaca dan penonton Suhita menyebutkan bahwa novel karya Ning Khilma Anis tersebut berkisah tentang perempuan yang berjuang mendapatkan cinta suaminya. Mayoritas sudut pandang tersebut benar dan memang selalu dipakai oleh perempuan bahkan penulis serta pemain filmnya. Mungkin saya berbeda dalam menikmati Suhita. Saya mencoba melihat novel Suhita dari sisi Gus Birru bukan karena saya laki-laki melainkan pada sudut yang berbeda.

Menurut saya Suhita adalah novel yang berkisah tentang seorang lelaki putra tunggal pewaris pesantren yang bersikap dingin karena terbentur sistem perjodohan. Sikap dinginnya menjalar sampai mereka berstatus suami istri bersama Alina Suhita yang tak lain lakon utama dalam novel tentu versi mayoritas. Saya yakin banyak perempuan merasa kecewa dengan sikap Gus Birru yang ternyata menitis hampir ke setiap lelaki, beku, tidak peka, tidak peduli dll. Walaupun rumus utama dalam menilai lelaki atau perempuan adalah : tidak semua lelaki/perempuan itu sama.

Jika kita membaca novel atau lebih lagi menikmati dalam bentuk audio visual film maka Alina Suhita adalah tokoh kunci yang mampu mewakili hampir mayoritas perempuan. Setelah itu barulah Ratna Rengganis satu dari sekian perempuan ada di pihaknya. Tapi sangat jarang perempuan berpikir ala kaum Adam sebagaimana Ning Khilma Anis mengilustrasikan Gus Birru yang serba salah itu. Bisa dibayangkan jika kita berada di pihak Gus Birru tentu akan sulit pula mana yang akan dipilih.

Mungkin sekilas orang dengan mudah begitu saja kok sulit. Dalam konteks malam pertama misalnya banyak orang menilai Gus Birru sosok yang bodoh. Sosok yang padahal siapa saja bisa melakukan dengan sesuka hatinya karena posisi itulah yang diinginkan banyak orang. Lebih lagi para jomblo akan meronta ketika melihat di scene ini (lihat filmnya) Gus Birru menolak Alina Suhita dengan pakaian sensualnya.

Begitulah kisahnya, Gus Birru memang luar biasa. Seperti yang dikatakan Rengganis bahwa Gus Birru tak semudah itu. Ia tak bisa hidup dengan masa lalunya atau lebih tepatnya ia tak mungkin berdiri di atas dua perahu. Inilah yang juga menjadi alasan mengapa Rengganis tak ingin hidup separuh hati. Ia sadar bahwa Gus Birru sudah milik orang lain. Tapi dengan kesadaran penuh bahwa Gus Birru adalah sosok yang sangat menghormati perempuan terlebih ummiknya. Walaupun di sinilah kita tahu konflik batinnya selalu berperang melawan kehendak Abahnya, pesantren dan Suhita.

Gus Birru adalah seorang aktivis, orator dan tentunya menyukai dunia jalanan. Ia lebih tertarik dengan buku-buku pergerakan, dunia kafe dan perjuangan lewat media jurnalistik. Gus Birru tentu sadar bahwa pesantren Al Anwar adalah warisan besar dan berada di pundaknya. Akan tetapi kesadaran itu harus pudar gegara ia tak bisa mengikuti pola pikir Abahnya. Maka dari itu sejak kecil ummiknya membidik Suhita putri Kiai Jabbar yang cerdas itu untuk jadi mantunya.

Tapi Gus Birru memang hanya butuh waktu. Setidaknya untuk dia belajar menata diri dan mendewasakan pikiran. Dengan kesadaran penuh Gus Birru bukanlah manusia ideal idaman pesantren. Bahkan mungkin Suhita telah banyak salah paham pada dirinya. Secara jujur ini berat karena Gus Birru diam-diam selalu hidup di alam kenangan masa lalunya. Lantas kehadiran Suhita dianggap sebagai sosok yang melunturkan segala angan dan cita cintanya. Kita tentu tahu mayoritas lelaki memang demikian bahwa mereka cenderung memikirkan diri sendiri khususnya perihal minat dan fokusnya.

Kaum lelaki sebenarnya setia namun mereka canggung. Mereka hanya kesulitan untuk memulai bagaimana cara mendahului. Kaum lelaki tidak seluwes perempuan yang berpikir di balik perasaan. Lelaki akan mudah disebut salah karena kadang logikanya tak berperasaan. Padahal fakta membuktikan lelaki hanya butuh waktu yang tepat. Gus Birru menjadi contoh sebenarnya diam-diam ia sudah tertarik dengan Suhita. Gus Birru sebenarnya sayang dengan gadis manis itu dan sebenarnya peduli. Hanya saja keadaan yang dibalut egoisme sering sulit dikendalikan. Akibatnya lelaki selalu tampak egois, kasar dan maunya menang sendiri.

Secara objektif sebagai lelaki tentu beberapa sifat Gus Birru ada pada saya. Saya harus akui jika memilih bolehlah sosok Kang Dharma atau Mas Arya ada pada jiwa saya. Akan tetapi sekalipun Gus Birru banyak kekurangan demikianlah faktanya memang manusia samudera seperti Suhitalah yang tepat sengaja disiapkan hanya untuk sosok dingin itu. Sekadar refleksi bahwa tidak setiap lelaki mampu seperti Gus Birru terutama ketika ia mempertahankan prinsip ninjanya untuk tidak menyentuh Suhita karena alasan pengabsah wangsa. Kata Gus Birru ia tak bisa menyentuhnya dengan posisi cinta separuh. Ia harus mencintai Suhita dengan cinta yang penuh dan statement inilah saya anggap sebagai sikap ksatria. Ia hanya perlu ditaklukkan dengan kasih lembut dan waktu, itu saja.[]

the woks institute l rumah peradaban 15/6/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde