Langsung ke konten utama

Manhaj Ploso





Woko Utoro

Pesantren hingga hari ini masih menjadi lembaga tafaquh fiddin yang setia terhadap isu-isu kebangsaan. Bahkan pesantren tidak hanya sekadar menyelenggarakan kajian kitab turats melainkan menjadi lembaga yang konkrit mengawal keutuhan bangsa. Pesantren selalu hadir sejak dulu hingga kini. Salah satu hal menarik dari lembaga pendidikan pesantren adalah soal manhaj nya.

Dalam tulisan ini saya menyuguhkan satu dari ribuan pesantren di Indonesia yang masih eksis dan melahirkan banyak alumni. Pesantren tersebut adalah Al Falah Ploso Mojo Kediri. Kendati di sekitar Ploso banyak pondok akan tetapi yang paling terkenal adalah pondok Ploso. Menariknya di pondok ini adalah terkait manhaj belajar terutama tertanam pada alumninya yaitu terkumpul dalam IMMAP. Mungkin IMMAP sama dengan perkumpulan pondok pesantren lain seperti HIMASAL, IKAPMAM, HIMTABU, IKAPETE, HAMIDA dll. Akan tetapi pondok Ploso seperti memiliki ciri khas tersendiri.

Di Ploso yang saya ketahui memiliki motto belajar, "Berilmu amaliyah ilmiah, berilmu ilmiah amaliyah". Motto tersebut lah yang selalu digaungkan oleh para masyayikh terutama yang masih hidup yaitu KH Nurul Huda Djazuli dan Nyai Hj Lailatul Badriyah. Motto tersebut memang mencirikan bahwa pondok Ploso adalah pondok yang gandrung dengan mengaji. Ngaji adalah program dan tujuan utama pondok ini. Hal itu sudah tercermin pada alumninya yang kompak dan tersemai di berbagai penjuru.

Saya menyaksikan betapa ngaji adalah ruh utama di Ploso. Bahkan tidak ada pembahasan yang lebih laku daripada topik ilmu dan ibadah. Dawuh-dawuh masyayikh Ploso selalu menggema bahwa santri tanpa ngaji adalah kebodohan bahkan ada anekdot, la yamutu wala yahya ora bermutu tur ngetek-ngenteki biaya. Gus Kautsar sering juga dawuh bahwa sekalipun anak kiai jikalau tidak ngaji maka dia tolol. Ngaji dan semangat keilmuan memang selalu menjadi hal utama karena hal itu adalah warisan dari muassis pondok Ploso, Simbah Kiai Djazuli Utsman.

Mbah Yai Djazuli setelah mondok di Lirboyo dan Mojosari langsung mengajar santri disebuah langgar kecil yang kini menjadi mushola ndalem pondok pusat. Dari sanalah kegigihan Mbah Nyai Rodliyah Dzajuli, istri beliau yang mendorong kuat bahwa orang akan mulia dengan ngaji. Hingga saat ini putra-putri Mbah Yai Djazuli menitis yaitu kompak dan mencintai mengaji. Bahkan menurut Gus Kautsar orang-orang terlalu salah kaprah ketika pamanya Gus Miek menjadi wali karena keramatnya. Jarang sekali orang menyinggung sisi ilmiah dari Gus Miek. Padahal Gus Miek juga seorang pendidik, beliau mampu mengajarkan kitab Ihya Ulumuddin dan Hikam Ibnu Athoilllah bahkan mengamalkannya. Hal itulah yang membuat maqam beliau tinggi di sisi Allah.

Dari sisi alumni juga bisa disaksikan betapa Ploso sangat kuat hubungannya. Antara pondok dan alumni selalu difasilitasi dengan ngaji. Di manapun tempatnya ngaji menjadi sajian utama. Dari ngaji itu pula iklim musyawarah atau bahtsul masail juga hidup. Ngaji dari mulai bulanan, triwulan, hingga tahunan masih terselenggara bahkan acara halal bihalal pun agenda utamanya adalah balagh kitab. Intinya obah sak obah, pokok ngaji (sedikit saja pergerakan, pokoknya ngaji. Begitulah pondok Ploso telah menjadi role model bahwa kegiatan ngaji adalah kunci keberhasilan santri.

Manhaj Ploso adalah ngaji. Maka menjadi kesimpulan adalah bahwa thariqoh illa Allah adalah ta'lim wa ta'alum. Bahwa jalan menuju Tuhan sebanyak buih di lautan akan tetapi salah satu jalan tersebut adalah orang yang belajar dan mengajar. Kita selalu belajar pada pondok Ploso yang khas itu.

the woks institute l rumah peradaban 24/6/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde