Langsung ke konten utama

Rihlah 3 Wali




Woko Utoro

Pagi itu saya langsung tancap gas menuju rumah Kak As di Padangan Ngantru. Dengan penuh semangat saya tiba di sana dan Kak As masih mengurusi tanaman cabainya. Saya pun singgah sejenak di masjid sekitar untuk berwudhu dan berkirim fatihah untuk sesepuh masjid. Setelah itu barulah saya dijamu oleh Kak As secangkir kopi plus gorengan hangat. Sebelum berangkat kami sarapan terlebih dahulu dengan menu sayur kara dibalut mie goreng nan menggugah selera.

Agenda kita di hari Minggu tersebut adalah ziarah ke maqbarah Tebuireng Jombang. Agenda tersebut sudah sekitar satu minggu kita persiapkan. Kak As sengaja ke sana karena ingin berziarah ke muallif Amtsilati Tasyrifiyah yaitu KH Ma'sum bin Ali yang tak lain adalah suami dari Nyai Khoiriyah Hasyim Asy'ari. Jika saya pribadi memang sejak lama ingin ke Jombang dan ziarah ke Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari.




Perjalanan kali ini kami menaiki motor milik Kak As. Dengan kecepatan sedang kami melaju melewati Kediri, Papar, Purwoasri, lewat Perak dan sampai Tebuireng. Pulangnya kami lewat Gudo, Perak dan lewat jalur awal. Singkat kisah kami sampai di sana dan tentunya sesuai dugaan kompleks makam Tebuireng begitu ramai dikunjungi para peziarah. Untuk melepas lelah kami singgah di warung kopi dan menyantap gorengan hangat.

Hari semakin siang sedangkan peziarah semakin ramai. Kami bergegas ke dalam dan memang tidak mungkin jika menunggu sepinya peziarah. Sambil berseloroh sang ibu penjual gorengan berkata, "Ya kalo nunggu sepi nanti mas pas ditutup makamnya" haha kami pun tertawa. Kami langsung saja mengambil tempat di sekitar papan nama penghuni makam di samping sumur tua peninggalan Mbah Hasyim. Kami memang tidak mendapatkan tempat karena hari minggu begitu padat. Akhirnya kami berdoa sederhana dan tanpa kehilangan rasa khidmat.

Setelah berziarah kami langsung mengunjungi museum Islam Nusantara atau MINHA yang ada di sebelah barat makam. Kami menyusuri setiap sudutnya dan tak lupa mengabaikan diri dengan berfoto. Sebelum pulang saya meluangkan waktu untuk belanja beberapa buah dodol khas zairin dan tahu takwa khas Kediri. Barulah setelah itu kami langsung kembali.

Sepanjang perjalanan Kak As selalu penasaran dengan destinasi wisata religi mana lagi yang bisa dikunjungi. Akhirnya kami singgah di makam Syeikh Ihsan bin Dahlan Jampes. Sebelum ke sana kami singgah di Masjid Kayen dan ternyata kami berpapasan dengan Ibu Nyai Mbah Kholiq PP Mbah Dul. Yang unik di masjid ini ketika kami usai shalat adalah seorang penjaga masjid membolehkan kami membawa al Qur'an koleksi masjid tersebut. Katanya daripada tidak terpakai kami disuruh membawanya. Akhirnya Kak As membawa dua al Qur'an masing-masing yang terdapat tafsir dan kosongan. Sedangkan saya membawa kitab akhlak dan buku amaliyah yasin tahlil.

Saya dan Kak As akhirnya tiba di maqbarah Syeikh Ihsan bin Dahlan Jampes. Setelah beberapa menit perjalanan dari Kayen dan di sana kami langsung bersantap siang. Menu kali ini adalah nasi ayam geprek plus es kelapa muda. Perut kami memang tidak bisa dibendung dari lapar. Sambil menunggu rombongan peziarah lain kami selesaikan makan siang tersebut. Di makam pengarang kitab Sirajuth Thalibin tersebut kami melihat peziarah ada sekitar 12 bus full. Mereka berdoa seraya memohon wasilah lewat shohibul maqam terkait keberkahan ilmu.

Berlanjut dan waktu semakin sore, kami langsung tancap gas menuju Setonogedong. Di sana kami shalat ashar dan ziarah ke makam Mbah Wasil Syamsuddin. Menurut catatan terbaru Mbah Wasil adalah penghulu wali tanah Jawa. Beliau hidup lama dan memiliki hubungan dengan Sri Aji Jayabaya. Setelah dari Setonogedong kami akhirnya dapat pulang ke rumah dengan selamat.

the woks institute l rumah peradaban 20/6/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde