Langsung ke konten utama

Membingkai Imajinasi Dalam Novel




Woko Utoro

Ngaji Literasi edisi ke-8 yang dihelat oleh SPK kali ini begitu menarik. Pasalnya ngaji literasi kali ini membincang buku berjenre fiksi yaitu novel Anak Angkot. Pembahasan yang sangat langka karena sebelumnya ngaji literasi selalu membedah buku berjenre non fiksi. Novel buah karya Muhammad Mustofa Ludfi tersebut sangat layak untuk diperbincangkan. Bib Ludfi sapaan akrabnya memang piawai dalam merangkai cerita.

Proses kreatif Bib Ludfi sebenarnya memang cenderung dekat ke sastra utamanya cerpen dan novel. Karena bagaimanapun juga hal itu dipengaruhi terhadap minat dan bakat seni. Menurut Sri Malela Mahargasarie seni adalah minat itu sendiri. Artinya orang bisa belajar seni dan itu disebut teknis. Akan tetapi jika soal imajinasi, rasa dan penghayatan itu soal bakat yang dibentuk oleh rangkaian minat.

Sebenarnya untuk berkesenian seseorang tidak perlu masuk dalam sistem pendidikan formal melainkan otodidak juga bisa dan itulah sedikit yang dilakukan Bib Ludfi. Secara jujur Bib Ludfi mengakui bahwa kepiawaiannya dalam merangkai bahasa sastra lebih mudah daripada bahasa ilmiah yang memiliki sistematika khusus. Akhirnya novel Anak Angkot ini salah satu dari hasil ijtihad berpikir dan berimajinasi beliau.

Bib Ludfi berkisah bahwa novel Anak Angkot adalah karya yang latarnya dipengaruhi dari kota Malang. Tentu kita tahu Malang masih satu frekuensi dengan Surabaya secara kultur bahasa keras dan ceplas-ceplos apa adanya. Novel Anak Angkot berkisah tentang Mukhtar si Anak Angkot atau lebih tepatnya anak dari seorang yang selalu mengejar setoran. Bisa disebut juga buruh angkot alias supir yang tidak memiliki kendaraan sendiri atau ikut sistem juragan.

Dalam novel tersebut lewat Mukhtar si tokoh utama secara objektif Bib Ludfi menulis apa adanya. Bib Ludfi menulis sesuai kejadian riil yang dalam peta imajinasinya diceritakan tokoh utamanya kalah. Biasanya dalam mayoritas novel tokoh utama selalu disimbolkan happy ending akan tetapi Anak Angkot ini berbeda. Dengan bahasa yang lugas tanpa banyak bunga-bunga metafora Bib Ludfi berhasil mengajak pembaca ke imajinasi faktual. Imajinasi yang disandarkan pada data dan fakta. Maka dari itu menulis novel sangat mudah yang sulit adalah risetnya.

Singkat kisah novel Anak Angkot tersebut berisi kritik tajam Bib Ludfi yaitu mengenai keberpihakan pemerintah yang minim terhadap rakyat kecil, penyajian objektif tentang kondisi riil di masyarakat dan bahwa kejahatan dilawan kejahatan tak akan pernah menang. Di mana pun rumusnya sederhana bahwa kebaikan selalu menang melawan kejahatan. Maka sebenarnya novel dengan muatan kritik sebenarnya perlu juga diketengahkan ke ruang pembaca. Karena bagaimanapun juga lewat karya sastra hal yang bersifat kritik justru terasa seperti sebuah seni yang berbicara. Seni itu membentuk gagasan dalam imajinasi ide sekaligus merangsang orang untuk kritis terhadap keadaan.

Menjauh dari isi novel Anak Angkot, lantas saya bertanya pada Bib Ludfi mengapa masyarakat lebih menyukai novel dengan jenre percintaan, rumah tangga, horror sedangkan jenre heorisme dan pendidikan begitu terpinggirkan. Sebenarnya tidak sukar untuk menjawab hal itu karena masyarakat kita memang lebih cenderung membutuhkan fungsi hiburan daripada pendidikan. Pengetahuan yang dulu menjadi kiblat pencarian kini justru terabaikan. Begitulah anomali terjadi di berbagai lini kehidupan dan kita melihat pergeseran masyarakat dari akademik menuju entertainment.

Terakhir dalam perdiskusian malam itu Bib Ludfi memberi pesan yang menohok di antaranya; saat ini tulisan terlampau banyak tugas kita adalah melahirkan generasi pembaca. Tidak hanya karya sastra bahkan karya ilmiah pun berlimpah ruah. Akan tetapi menjadi pertanyaan mendasar apakah generasi pembacanya sudah siap. Demikian juga seperti diungkap Prof Ngainun Naim tempo hari bahwa menulis harus diawali dari tradisi membaca. Tanpa tradisi membaca tulisan sulit diwujudkan.

Orang menulis sebenarnya banyak akan tetapi hanya sekadar menulis. Maka dari itu menulislah sebagai sebuah jalan kehidupan. Bib Ludfi berpendapat bahwa menulis adalah meditasi, atau menulis itu adalah skapisme. Menulis adalah pelarian paling efektif untuk menumpahkan segala macam ide. Sehingga dengan pengertian tersebut menulis menjadi kebutuhan bukan hanya sekadar keinginan.

Bib Ludfi memberi tips jika ingin menulis seseorang harus menjadi pembaca. Setelah itu carilah pemicu misalnya diskusi atau meminta mentoring dari para ahli dan terakhir adalah menulislah. Datangilah pada leptop atau buku untuk segera mewujudkan tulisan. Hanya dengan cara praktek langsung tulisan akan jadi kenyataan.[]

the woks institute l rumah peradaban 8/6/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde