Langsung ke konten utama

Gus Iqdam dan Anak-anak


Foto tersebut saya ambil ketika sowan beliau beberapa waktu lalu.

Woko Utoro

Jika kita bagian dari jamaah pengajian Gus Iqdam pasti tahu metode dakwah beliau. Gaya dakwah Gus Iqdam per hari ini memang tengah menjadi sorotan. Pasalnya kiai muda pimpinan Majelis Ta'lim Sabilu Taubah tersebut menerapkan metode dakwah yang luwes, riang gembira dan mudah diterima kalangan awam. Salah satu metode dakwahnya yang menarik adalah nyangoni anak-anak kecil.

Memberi angpao atau mecingi bahasa Jawa ngapaknya juga dapat diartikan memberi uang secara cuma-cuma. Gus Iqdam melakukan hal itu hanya untuk anak-anak usia SD ke bawah. Ilustrasi lengkapnya adalah ketika di tengah-tengah pengajian Gus Iqdam selalu mengajak jama'ahnya bershalawat. Setelah tiba di syair sholawat Alamate Anak Sholeh maka biasanya beliau meminta Banser dan panitia membuka jalan. Tujuannya agar anak-anak kecil bisa berbaris rapi ke depan panggung. Ketika sudah rapi anak-anak secara bergiliran akan diberikan sejumlah uang. Biasanya uang tersebut senilai 10-20 ribu. Tentu uang tersebut bukan hanya dari Gus Iqdam melainkan dari sponsor maupun para dermawan.

Beberapa orang mungkin bertanya mengapa Gus Iqdam melakukan hal itu? Apakah beliau tidak khawatir jika anak akan memiliki mental peminta. Di beberapa kesempatan saya mendapatkan jawaban langsung dari beliau bahkan jawaban tersebut bisa disimak lewat channel YouTube. Kata Gus Iqdam nyangoni anak-anak tujuannya agar mereka merasa senang dengan ngaji. Daripada mereka senang dengan dunia luar maka Gus Iqdam membuat agar pengajian menjadi daya tarik. Di sinilah seorang pendakwah juga dituntut untuk peka terhadap kondisi sekitar.

Pendakwah juga harus berkorban alias mengeluarkan modal agar orang cinta dengan ngaji. Kata Gus Iqdam daripada uang tersebut untuk nyawer lebih baik untuk anak-anak saja. Bisa saja uang tersebut menjadi wasilah turunnya barokah. Karena barokah itu abstrak akan tetapi bisa dirasakan manfaatnya. Gus Iqdam yakin wasilah uang tersebut anak-anak akan semakin gandrung dengan ngaji. Dari metode tersebut Gus Iqdam memberi pesan bahwa ngaji itu happy. Ngaji itu tidak seangker yang dibayangkan. Maka dari itu bagaimana caranya agar persepsi ngaji menjadi kebutuhan utama di era milenial ini.

Gus Iqdam juga ingin menyampaikan pesan lewat lagu Alamate Anak Sholeh dalam setiap dakwahnya. Lagu tersebut harapannya dapat menancap dalam pikiran anak-anak. Setelah itu harapan selanjutnya dapat ditransformasikan menjadi sebuah laku. Jika sudah demikian maka pesan dakwah bisa dikatakan berhasil. Sebelum diakhiri tulisan ini mari kita nyanyi bersama Alamate Anak Sholeh :
يَارَسُوْلَ اللهِ سَلَامٌ عَلَيْكَ ۰ يَارَفِيْعَ اْلشَّانِ وَاْلدَّرَجِ

عَطْفَةً يَاجِيْرَةَ اْلعَلَمِ ۰ يَاأُهَيْلَ اْلجُوْدِ وَاْلكَرَمِ

Alamate anak sholeh iku papat
Ba’dane mukmin anut ing syariat
Kang dihin lisane alus ngendikane
Kapindo mulyaaken ing wong tuone

Kaping telu asih ing bocah cilik-cilik
Ugo marang sedulur ugo gawe becik
Kaping papat amal anut ing ngilmune
Dadi tanggung jawab ora ngawurane

Iku saking ulama aweh pitutur
Alamate bocah ingkang dadi jujur
Mugo-mugo kito biso ngelampahi
Dunyo akhirot tan nemu billahi

the woks institute l rumah peradaban 22/6/23

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde