Langsung ke konten utama

Hatters Anak Inklusi

Woks

Tidak ada pekerjaan yang menyenangkan kecuali dengan menciptakan kesenangan itu sendiri. Seperti halnya kini yang aku rasakan bekerja sebagai Guru Inklusi di salah satu sekolah dasar ternama di Tulungagung. Mendampingi anak berkebutuhan dengan sistem inklusi merupakan tantangan tersendiri, sebab anak berkebutuhan khusus (ABK) tersebut berada di lingkungan anak-anak reguler. Berbeda dengan sistem SLB (sekolah luar biasa) yang mayoritas peserta didiknya adalah bersifat homogen dalam satu tempat atau instansi.

Tantangan pertama yang dihadapi oleh GPK (guru pendamping khusus) ialah menghadapi anak inklusi yang terdiri dari berkebutuhan mental, kognitif hingga difabel. Bisa dibayangkan bagaimana usaha keras seorang guru untuk komunikatif dengan mereka, mengajak mereka belajar dan terpenting adalah menciptakan chemistri agar terciptanya pembelajaran yang baik. Entah melalui rayuan atau dengan mengajak mereka bermain. Bagi yang belum terbiasa tentu akan gagap dalam menghadapi kondisi tersebut. Logikanya adalah anak-anak yang non berkebutuhan saja sulit dan kadang membangkang, apalagi yang berkebutuhan. Walaupun memang banyak diam dan penurut, tapi komunikasi itu amat penting. Karena komunikasilah salah satu keberhasilan dalam merespon kondisi dari si pembimbing.

Tantangan kedua ialah menghadapi anak-anak reguler atau umum. Mereka lebih sulit dikondisikan. Bahkan mereka cenderung liar. Mereka tak segan-segan untuk membully, mengejek, adu kelahi dan menghakimi. Perasaan mereka tumpul saat dihadapkan dengan situasi yang berbeda. Rasa kasihan kepada yang berkebutuhan nampak berkurang. Termasuk tidak adanya kesadaran, rasa empati dan pengertian terhadap mereka yang seharusnya dibantu kekuranganya. Faktanya kekurangan dan menjadi berbeda itu sangat sulit diterima anak-anak umum. Mereka menganggap anak berkebutuhan adalah biang dari masalah. Sehingga yang inferior selalu kalah oleh dominasi superior.

Tantangan yang kedua inilah membuat siapa saja naik pitam. Rasanya ingin emosi atau bahkan memukul si pelaku yang sering mengejek anak berkebutuhan tersebut. Ujian kesabaran memang selalu dominan dalam kasus ini. Sehingga kekalahan orang dewasa adalah saat kesabaranya habis. Jadi jika sabar itu ada batasnya, maka batasnya adalah ketidaksabaran itu sendiri. Siapa pula yang kuat meladeni para hatters yang tentu di mata mereka tak ada benarnya. Bahkan terkadang logikapun mudah terbalik, baik bagi kita belum tentu diterima mereka dan sebaliknya.

Anak-anak dan orang-orang pada umumnya harus sering diberi pengertian bahwa anak berkebutuhan khusus (ABK) memerlukan bantuan kita. Selain faktor orang tua dan individu yang tak kalah penting lagi adalah kehadiran orang lain sebagai sebuah komunitas yang seharusnya bisa menerima mereka apa adanya. Tanamkan mulai sejak dini bahwa walaupun mereka berbeda dengan kita, tapi mereka bukan orang yang berpenyakit menular, tapi hanya kekurangan dalam beberapa aspek saja. Sehingga kehadiran kita bisa menguatkan mereka. Stop bullying dengan cara apapun. Mari saatnya kita pahamkan banyak orang dan bijaklah. Mereka juga manusia sama seperti kita. Mari ramah terhadap anak inklusi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde