Langsung ke konten utama

Truntum dan Mawar

Bang Woks

Pada abad ke - 18 penyair dari Jerman Holderlin berkata " Dichterisch Wohner der Mensch" (berdiam secara puitis). Mungkin apa yang Holderlin katakan secara tidak sadar diikuti oleh Mas Andi alias Idna Nawfa ini. Ia memang terkenal sebagai orang yang sering bertapa di dalam kamar hanya demi untuk menarikan penanya. Dan terbukti kini tulisanya sedang dihidangkan di depan para pembaca. Ia tidak peduli apa kata orang, yang jelas menyepi adalah salah satu meditasi agar menghasilkan karya. Salah satunya seni puisi. Dan saya salah seorang yang menyaksikan proses bersunyi sepi Mas Andi demi untuk berkecimpung dalam sastra, khususnya puisi.

Siapa bilang karya puisi itu rendahan. Siapa bilang juga membuat puisi itu mudah. Padahal seni puisi itu merupakan kinerja kata yang tidak sekedar kata, tapi ada kecerdasan bahasa di dalamnya. Sehingga hanya mereka saja yang mampu meracik kata dengan harmonis yang mampu mempersuasi pembacanya. Berkaitan dengan hal ini, Imam Budi Santoso mengatakan bahwa sesungguhnya menulis puisi itu tidak mudah, tetapi menjadi penyair itu juga tidak gampang. Dari puisilah seseorang dapat terlihat jejak-jejak puitiknya, aliran emosinya, serta gaya bahasa yang digunakanya. Kita paham bahwa dengan hanya berkata-kata mungkin semua orang mampu, tapi puisi bukan sekadar kata-kata, tapi ia kata hati.

Kendati seni puisi itu bersifat absurd dan tidak semua orang paham maksudnya, setidaknya ia telah melahirkan pelbagai macam gaya. Gaya itulah yang dipegang teguh oleh penulisnya hingga menjadi sebuah pakem. Berbeda dengan prosa yang sejatinya bersifat statis dan tidak terikat. Harus dipahami bahwa puisi tidak semua harus dimaknai dan ditafsirkan. Sehingga darisana kita bisa melihat bahwa kebermaknaan itulah yang melahirkan nilai kedalamannya.

Membaca buku Rahim Mawar (kumpulan puisi) karya Mas Andi ini, saya jadi ingat bunga Truntum yang konon menjadi inspirasi Ratu Kencana (Permaisuri Sunan Paku Buwana III) untuk menciptakan motif pada kain batik sebagai simbol cinta yang tulus tanpa syarat, abadi, dan semakin lama semakin terasa subur berkembang (tumaruntum). Ia juga bermakna cinta yang tumbuh kembali. Kedalaman makna itulah yang hingga kini menjadi simbol harapan untuk orang tua agar memiliki anak yang kelak menjadi pengantin yang saling mengasihi sesama. Tak jauh berbeda dari bunga truntum, bunga mawar  juga merupakan simbol keteguhan seseorang dan simbol cinta sejati. Cinta yang selalu diliputi perasaan romantis.

Rahim Mawar yang menjadi judul besar buku ini sesungguhnya merupkan karya pribadi seseorang yang sedang menunjukan kejernihan berpikir tentang luapan emosi batin yang diekspresikan lewat medium puisi. Saya sendiri tak bisa menebak cara berpikir Mas Andi ini, mengapa nama penanya ia bolak-balik? apakah ini sesungguhnya merupakan kejutan terhadap dunia, bahwa salah satu esensi dunia yang tiap hari kita lalui dapat ditangkap lewat puisi.

Seperti halnya bunga truntum dan mawar, ia adalah dualitas yang sulit ditebak. Dari rahim keduanya melahirkan fakta dan rahasia. Kumpulan puisi ini pun sesungguhnya merupakan puisi potret yang merekam jejak penulisnya dari waktu ke suasana yang berbeda. Puisi ini juga merupakan puisi perjalanan penulisnya dalam menapaki jejak rasa dari satu tempat ke tempat lain. Sehingga dari rangkaian puisi ini kita akan diajak ke dunia realitas, melihat masyarakat, melihat alam, hewan, tumbuhan, budaya dan imajinasi. Dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, penulisnya benar-benar sukses membuat kita tertegun sekaligus bertanya di mana posisi kita berada?.

Layaknya truntum dan mawar. Biarkan ia terus tumbuh dan bersemi. Biarkan ia tetap mekar dan harum. Ia akan terus mencari 
jejak-jejak orang-orang yang mau berkarya. Di manapun tempatnya, kapanpun waktunya dan dalam perasaan apapun, setidaknya karya adalah jawaban dari menggali rasa. Selanjutnya, kita juga ikut dalam merefleksikan kehidupan dengan keindahan dan kebenaran. Sehingga dalam bahasa Sutardji Coldzoum Bachri, kita harus menetaskan telur. Kita tak boleh hanya puas dan berhenti di sini. Seni puisi masih akan terus mewangi. Puisi tak akan mati. Selamat membaca.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde