Langsung ke konten utama

Malam Berselimut Jurnalistik

Woks

Jurnalistik adalah kemampuan untuk mencari informasi, mengolahnya, menyuntingnya dan mendistribusikannya. Kemampuan tersebut tentu ditunjang dengan skill pokok berupa rajin membaca, menulis dan rasa ingin tahu yang tinggi. Tanpa ketiganya kegiatan jurnalistik tak akan berjalan dengan baik. Lebih lagi jurnalistik merupakan anak kandung dari rahim dunia literasi yang cangkupannya luas. Literasi sendiri tidak melulu membincang membaca dan menulis saja, akan tetapi mampu juga dalam memegang peranan di media.

Kemarin malam (26/2/20) aku berkesempatan bersua mahasantri Mahad al Jami'ah IAIN Tulungagung untuk berbagi pengetahuan seputar kejurnalistikan. Aku diberi misi oleh Murabbi Mahad untuk membangkitkan kembali gairah literasi jurnalistik yang telah lama mati suri. Tentu ini tantangan yang dibilang tak mudah. Dengan kondisi SDM yang masih dalam tahap dasar dan waktu yang begitu singkat kita dibebani tugas yang maksimal. Tuntutan agar lahir sebuah produk jurnalistik tentu harus disambut baik oleh semua peserta. Jika tantangan itu hanya dibebani kepada pembimbing saja, maka kegiatan jurnalistik hanya sebatas formalitas.

Di sisi lain kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik ini dilaksanakan malam hari. Karena padatnya jadwal maka malam dipilih untuk menjalankan misi jurnalistik ini. Sebenarnya tak terlalu penting kapan waktu pelatihanya, yang terpenting adalah antusisme, komitmen, dan keinginan kuat dari peserta untuk belajar dalam ekstra jurnalistik ini. Para jurnalis mahad diharapkan lebih memahami lingkup  dan dasar jurnalisme yang begitu luas agar terciptanya etos kerja jurnalistik yang jujur dan kompeten.

Kegiatan yang pesertanya mayoritas perempuan ini, tentu harus mengambil langkah jitu dalam menjalankan aktivitasnya.  Dengan durasi waktu padat dan singkat tentunya pembelajaran utama tidak bisa menjadi patokan. Seharusnya ada pembelajaran secara mandiri di luar ekstra tersebut. Para peserta harus segera menentukan genre tulisan apa yang mereka sukai dan ingin ditekuni. Jika di jurnalistik ini otomatis corak tulisanya adalah berita (straight news) yang tentunya bersifat informatif, laporan (reportase), tuturan (feature), reflektif dan sebagainya.

Aku tentu sadar bahwa dalam pelatihan ini kedepanya tidak hanya sekedar mendorong peserta agar mampu dan percaya diri untuk menuangkan gagasanya. Lebih dari itu ialah bersiap menerima jika mood menulis dan reportase mereka menurun. Ini sebenarnya yang menjadi PR bersama untuk saling memotivasi bahwa dunia jurnalistik adalah alam yang menyenangkan. Maka dari itu pesanku pada penutup acara tersebut ialah, kita harus membuat habitat literasi sendiri. Caranya dengan memupuk rasa ingin tau yang tinggi, mau belajar dan tentunya percaya diri terhadap suatu karya. Sebagai penutup aku teringat pesan DR Muhsin Kalida, MA "jangan tidur sebelum membaca dan jangan mati sebelum berkarya". Mari menulis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde