Langsung ke konten utama

Pendidikan Terintegrasi

Bang Woks

Seorang ibu wali salah satu siswa bertanya pada seorang guru di sekolah di mana anaknya dititipkan katanya, " berapa prosentasi keberhasilan anak didiknya itu?". Lalu sang guru menjawabnya, "keberhasilan peserta didik tidak disandarkan kepada guru saja, melainkan kepada semua pihak dalam hal ini orang tua". Mendengar jawaban singkat itu setidaknya sang ibu paham bahwa keberhasilan tidak bisa dituntut kepada satu pihak saja, melainkan kepada banyak pihak yang terlibat. Termasuk jangan berharap lebih kepada lembaga yang mengelola banyak jenjang dengan jumlah siswa yang overload.

Peristiwa tuntutan orang tua kepada guru terkait keberhasilan peserta didik memang sangat sering terjadi. Hal itu merupakan hak dari orang tua kepada lembaga pengelola pendidikan. Akan tetapi harus dipahami bahwa mendidik tidak semudah mengajar. Mendidik berarti proses elaborasi antara pengetahuan dan pengalaman, dalam hal ini adalah contoh nyata dari sang guru. Sedangkan mengajar adalah sekedar transfer of knowledge sehingga aspek moral tidak berfungsi dengan baik. Siswa hanya sekedar diberi pengetahuan untuk mengisi otak, sedangkan nuraninya kosong dan sepi. Seperti halnya persekolahan yang memang hanya melayani keseluruhan pendidikan untuk anak, akan tetapi pendidikanlah yang mendidik keseluruhan pribadi anak. Dalam bahasa Daoed Joesoef pendidikan adalah bagian dari konstitusi kebudayaan. Semua orang bisa mengajar, tapi tidak semua orang bisa mendidik. Hal-hal itulah yang masih menjadi PR besar semua pihak untuk menemukan formulasi paling ideal buat pendidikan kita.

Khususnya kepada orang tua jangan beri standarisasi keberhasilan peserta didik dengan terpaut pada nilai dan angka. Karena nilai dan angka bisa sangat mungkin terlahir karena belas kasihan atau rekayasa formalitas. Ukur kemampuan peserta didik sesuai dengan minatnya, yang tentu tanpa pernah dipaksa. Peran guru sendiri hanya sebatas memberi jalan atau mengarahkan  mereka untuk dapat mewadahi bakat minatnya. Termasuk orang tua yang tak lain merupakan aspek penting dalam mendorong peserta didik menuju kemajuanya. Pada faktanya miris sekali, kita sering mendengar bahwa banyak dari wali murid yang menitipkan anaknya untuk dididik oleh guru, sedangkan mereka acuh terhadap perkembanganya. Jadi tidak aneh jika antara orang tua, guru dan lembaga saling menyalahkan jika terjadi hal buruk pada peserta didik.

Di era kekinian pendidikan kita memang tengah dilanda krisis dimensional, krisis moralitas dan kealpaan jatidiri. Orang dewasa semakin rendah untuk sekedar menjadi role model bagi anak-anak. Belum lagi kehadiran teknologi selalu menjadi kambing hitam buruknya perilaku peserta didik. Jatidiri bangsa Indonesia yang terkenal berbudi pekerti sejak lama sekilas hangus oleh trend yang dibawa oleh media. Kearifan dan kesederhanaan mulai terkikis oleh label-label modern. Kesalehan ritual dan sosial hanya berfungsi di sekolah saja. Krisis keteladanan juga masih sering ditemukan baik di rumah maupun di sekolah. Belum lagi soal-soal ujian yang membingungkan selalu saja didapati kisahnya. Sehingga lagi-lagi blunder di dunia pendidikan menyulutkan api untuk saling menyalahkan.

Pada permasalahan yang nampak itu sesungguhnya memang perlu pendidikan terintegrasi. Pendidikan integrasi itu sendiri merupakan kolaborasi antara orang tua, guru dan tentu peserta didik itu sendiri. Ketiga aspek tersebut sangat perlu kesungguhan dalam merespon kekurangan, sebab jika salah satu aspek lemah maka cita-cita pendidikan yang ingin dicapai tidak akan terwujud. Lebih lagi pesan eksplisit dari UUD 1945 tentang "mencerdaskan kehidupan bangsa". Peran orang tua sangat penting sekali dalam memberi dorongan ke arah kemajuan (tut wuri handayani), peran guru memberi tauladan yang baik (ing ngarsa sung tuladha)  dan kemauan yang kuat dari peserta didik (ing madya mangun karsa). Dari prinsip Among yang digagas Ki Hadjar Dewantara itu mengandung cita-cita akan pendidikan yang holistik. Pendidikan yang tidak hanya membangun tampilan luarnya saja, melainkan bagian dalam juga. Dengan demikian pendidikan menjadi paket lengkap sebagai pengelola peradaban, kebudayaan dan keadaban.

Dewasa ini perkembangan pendidikan begitu pesat. Dengan adanya teknologi sistem dan sarana penunjang pendidikan semakin dipermudah. Walau kelemahan juga masih sering terjadi. Indonesia merupakan salah satu negara yang dengan mudah terpengaruh oleh perubahan dunia luar. Oleh karenanya kelemahan pendidikan harus segera diatasi. Masyarakat tentu harus menyambut baik dengan inovasi yang dilakukan oleh kementrian pendidikan yaitu dengan membuat kemerdekaan dalam belajar dan kembali pada jatidiri bangsa.  Dengan begitu kita tidak selalu menyalahkan satu pihak saja, melainkan perlu introspeksi sejak awal agar mampu melihat apa yang seharusnya dibenahi. Terutama persoalan pendidikan moral dan jatidiri bangsa yang selama ini hilang.

Sampai kapanpun pendidikan di Indonesia akan selaku butuh pertolongan. Khususnya kepada semua pihak. Jika guru sudah tak digugu dan ditiru, orang tua tak jadi teladan dan pengampu kebijakan tidak bijak, maka lepas sudah hakikat pendidikan itu sendiri. Jadi jangan iri jika Eropa terlihat maju dalam pendidikannya, sedang Indonesia semakin terbelakang. Kini saatnya mendidik semuanya, pendidikan yang berfungsi menyatukan pikiran yaitu pendidikan yang terintegrasi. Pendidikan yang mengembalikan karakter asli bangsa Indonesia yaitu bernilai humanis sejak dari sekolah hingga ke rumah. Pendidikan kita akan terus berbenah hingga menemukan formula bagamaina menekan carut marut di dunia pendidikan ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde