Langsung ke konten utama

Pendidikan Untuk Supporter Bola

Woks

Sudah bukan rahasia umum lagi jika Bonek (pendukung fanatik Persebaya Surabaya) bersua Arema (pendukung fanatik Arema Malang). Dua supporter besar itu memang tak pernah habis meninggalkan pahit getirnya permusuhan. Walaupun dikalangan atas mereka dingin dan damai, tapi tetap saja pendukung kalangan akar rumput selalu mudah untuk bertikai. Peperangan lokal antar pendukung sepakbola seperti Bonek kontra Arema ini kembali terjadi. Pada semifinal Piala Gubernur Jawa Timur (18/2/20) yang diselenggarakan di Stadion Supriyadi Kota Blitar kembali ricuh. Entah apa penyebabnya yang jelas Bonek dan Arema berulah.

Ulah mereka tentu mengakibatkan banyak hal dirugikan, mulai dari diri sendiri, infrastruktur dan tentu orang lain. Kejadian kericuhan tersebut tentu bukan kali pertama. Sejak 1927 Persebaya berdiri dan Arema 1987 entah sudah berapa kali mereka bertikai, belum lagi dengan pendukung club yang lain. Tidak penting berapa kali mereka berulah, yang jelas ricuh alias saling berperang tidak bisa ditolerir dengan hal apapun. 

Tak mampu meredam emosi dan kekurangan daya pikir yang jelas menjadi salah satu faktor mengapa mereka berulah. Termasuk fanatisme buta yang sudah mengakar sejak lama. Rasa gengsi, harga diri dan adu kekuatan juga turut memperkeruh rivalitas mereka. Seolah-olah mengadu dan kemenangan adalah jatidiri yang harus dipertaruhkan. Rasa menerima kekalahan terasa begitu mahal. Sehingga satu sama lain saling keras kepala dalam mempertahankan kebenarannya. Salah paham dalam kuantitas yang besar memang sulit diredam karena sudah terlanjur sumbu tersulut api. Jumlah personil keamanan pun tentu kewalahan menghadapi jumlah masa yang begitu besar. Sehingga mencari pemicu siapa dalang di balik kericuhan begitu menyulitkan.

Rasanya penyelenggaraan sepakbola kita tidak pernah jauh dari ricuh antar supporter. Kejadian yang memilukan dan memalukan itu selalu saja terjadi sehingga rasanya perlu sekali pendidikan untuk supporter agar konflik tidak meluas. Pendidikan supporter memberi pengertian dan penekanan bahwa rivalitas boleh saja ada, akan tetapi hal-hal yang menimbulkan konflik sebisa mungkin diminimalisir.

Kita sudah terlalu bosan mendengar dan menyaksikan kericuhan dalam dunia sepakbola. Sehingga asosiasi yang menaungi dunia sepakbola harus segera mengambil sikap, entah membuat regulasi terkait supporter atau terkait hal lain agar sepakbola kita bisa berjalan dengan baik. Dorong para supporter itu menjadi kreatif dan tekan anarkis. Termasuk menindak gerakan rasis, anthem yang mengundang emosi, jargon yang menghina dan atribut lain yang mengundang prahara. Dari banyak kasus yang ada baik dari pengampu kebijakan atau Panpel selayaknya sudah segera berbenah bahwa kericuhan antar supporter harus segera dihentikan. Kita juga selalu berharap agar ada upaya cerdas dari ketua supporter tersebut agar merangkul mereka dengan menjadi pendukung yang bijak. Salam damai untuk semua, salam saudara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde