Langsung ke konten utama

Kursi Goyang Bapak

Woks
Kicau burung begitu merdu pagi ini. Harmoni gesekan bambu mewarnai pagi yang hangat. Di pekarangan rumah tetangga sedang menjemur pakaian anak-anaknya. Sarung yang usang dan mukena yang kusut menghiasi pagar yang dijadikan jemuran. Suasana itulah yang menemaniku minum teh hangat sambil bersandar di kursi tua.

Ku kabarkan bahwa dulu bapak sering duduk di sini. Sambil menunggu pedagang getuk lindri kesukaanya. Tak lupa lagu campursari mewarnai pagi yang singkat itu. Bapak begitu akrab dengan siapapun. Termasuk kepada tetangga non muslim yang hampir setiap pagi memutar lagu-lagu rohani. Yang kadang mencaplok suara lagu campursari kesukaan bapak. Tapi beliau tidak bergeming. Santai dan semangat adalah motto hidupnya. Jadi jika ada tetangga yang dirasa kurang, beliau cenderung memberikan kebebasanya. Biarkan saja, wong dia juga punya hak. Sesantai itu bapak menanggapi permasalahan.

Bapak itu orangnya sederhana. Beliau selalu tenang jika dihadapkan dengan sebuah masalah. Bapak sangat paham bahwa konsekuensi orang hidup ya harus berhadapan dengan masalah. Jadi ya tinggal jalani saja, begitu bapak mengajariku. Pesan sederhana itu selalu ku ingat. Tapi hidup selalu tak mulus seperti dalam alam pikiran. Selalu saja ada ranjau yang menunggu ledakan di depan.

Suatu saat, di mana adik kami lahir. Ibu begitu kecewa. Beliau menangis sejadi-jadinya. Seperti tak percaya. Bahkan ibu seperti meronta kepada Tuhan mengapa takdir itu menimpanya. Saat aku lahir riang gembira penuh syukur menyelimuti kabut wajah ibu. Tapi saat adik ku lahir semua seperti tak berdaya. Akan tetapi tidak buat bapak. Beliau begitu tenang, walau air mata pun hadir mengalir, berlinang melewati pipi.

Ya, adik ku terlahir dengan ketidaksempurnaan. Sosok anak perempuan yang diidam-idamkan sejak lama oleh ibu terlahir dalam keadaan cacat. Ia tak memiliki satu tangan dan kaki agak sedikit bengkok. Entah apa yang merasuki ibu. biasanya beliau begitu menerima apa adanya. Atau mungkin ini efek terlalu lama dalam sebuah penantian. Mungkin Juga karena khawatir dengan tetangga yang selalu usil dengan desas-desusnya 

Ibu begitu marah pada bapak. Beliau seperti tidak terima. Ini semua ulah bapak. Semua kesalahan terlimpahkan pada bapak. Penghakiman dari mana-mana terlontar kepada bapak. Segala macam umpatan juga melayang kepada bapak. Entah mengapa hal itu bisa terjadi. Ibu mencoba tak ingin berkomunikasi dengan bapak. Kini kehadiran bapak adalah hal yang tidak diinginkan oleh ibu.

Perasaan ibu seperti terpenjara dalam jeruji besi. Beliau begitu terpukul dan malu dengan kehadiran anak keduanya itu. Sosok yang tidak diinginkan. Sebab berharap anak perempuan yang cantik justru malah sebaliknya.

"Sabar bu kita harus menerima atas ujian ini", kata bapak. Mencoba menenangkan.

Ibu semakin memaki sambil berlinang air mata. "Bagaimana kita harus bersabar lagi padahal semua kesabaran menunggu anak ini telah berlangsung lama. Kamu tidak mengerti pak, akulah yang melahirkanya, bukan kamu".

Di balik jendela aku hanya terdiam. Melihat kedua orang tua ku sedang beradu, menyalahkan diri dari nasib dan takdir. Aku tak bisa berbuat apa-apa, kecuali sedikit terkontaminasi pikiran negatif. Aku khawatir kehadiran adik ku ini adalah awal dari perpecahan keluarga.

"Kita tak memesan bagaimana Tuhan memberi itu semua bu. Serahkan saja sama Allah. Semoga semua ini ada hikmahnya".

"Tak mungkin semua akan kembali seperti semula pak. Nasi telah menjadi bubur. Kamu yang rajin sembahyang mengapa tak mampu meredam keinginan Tuhan untuk tidak memberi anak ini kecacatan".

"Astagfirullah, sadar bu. Kau tak boleh menyalahkanNya".

Angin berhembusan tak tau arah. Suara jeritan malam hampir tiap hari mampir kesetiap sanubari yang kesepian. Tiada daya dan upaya selain ungkapan syukur sekalipun dalam keadaan terkena cobaan hidup. Dan inilah sesungguhnya rahasia Tuhan.

Ruangan itu menjadi sunyi. Kini semua hanya meninggalkan sepi. Dan secercah penyesalan. 

Lima bulan yang melelahkan dari proses kelahiran itu. Aku harus menerima kehadiran adik perempuan. Kecil lucu namun tanpa tangan mungil yang menyertainya. Tapi apa mau dikata ini semua adalah kehendak Tuhan. Lagi-lagi ibulah yang tak kuasa menahan cemoohan para tetangga. 

"haha punya anak kok cacat, gimana ya, cuma menghabiskan makan saja. Salah satu kata itu begitu menyayat. Hati kecil ibu runtuh. Air mata beliau tak kuasa terbendung, hingga mengalir dengan derasnya".

Dari salah satu rentetan kejadian itulah ibu merasa tak kuat. Hidup bersama bapak, rasanya luntur. Semua tak bersolusi lagi. Ditambah lagi saudara ibu selalu memberi desakan agar meninggalkan bapak. Alias bercerai.

"Cuma karena kehadiran seorang anak yang kekurangan kau tega akan meninggalkan ku? Di mana nurani mu sebagai Ibu", tegas bapak.

"Cukup ceramah mu itu, sekarang kau ceraikan aku dan bawa anak mu itu".

Ibu semakin tak mampu mengendalikan emosinya. Demi seorang anak kecil yang tak tau apa-apa, akhirnya bapak rela mengalah. Aku diambang pilu. Ibu membawa ku dan bapak pergi meninggalkan kami. Tentu adik dibawa bapak. Kata bapak biarlah anak ini yang akan ku rawat semampu ku. Tentu hal ini berat bagi mereka berdua. Setidaknya ibu atau bapak telah mengakui kesalahanya sendiri, terutama telah mencontohkan hal buruk kepada ku.

Pikiranku terus merespon alam. Tak kuasa selalu mengingat momen buruk itu. Betapa api telah menguasai ibu, sehingga bapak harus pergi dari rumah. Dan aku harus tau bahwa ini adalah pilihan berat bagi bapak. Padahal ibu adalah satu dari sekian alasan mengapa bapak terus bertahan.  Ibu juga adalah kekasih pertama dan terakhir bapak. Ia tak akan tergantikan oleh siapapun. Kesetiaan bapak selalu menginspirasi ku. Walau kini mereka telah berpisah. Aku yakin bahwa ini bukan keinginan, tapi pilihan. Kadang perasaan yang dirasa tak selalu tersampaikan jika berhadapan dengan logika. Kita hanya perlu menenangkan pikiran. Setidaknya mampu mengakses energi alam dan kesejukanya.

Sejak kejadian memilukan itu aku hidup bersama ibu. Tentu hidup ku kini terasa hampa. Tiada bapak, berarti tiada yang menasihatiku, atau sekedar bercanda. Tapi aku sadar bahwa ibu adalah sosok yang telah membesarkan ku hingga kini. Perjuangan dan semangatnya tak surut meski badai kerap menerpa.

Kini aku telah berumah tangga. Tentu masa yang traumatis jika aku mengingat kejadian bapak dan ibu kala itu. Semoga saja nanti anak-anak ku kelak, ku terima apa adanya. Aku ingin menjadi seperti bapak. Walau tidak sepenuhnya salah kepada ibu. Cuma aku terus berpikir hingga hari ini, kursi goyang depan rumah itu tak pernah terusik oleh apapun. Ia tak bergeming, padahal masalah kerap datang di rumah itu silih berganti. Ia tak pernah berubah, sedangkan problema kerap melanda. Kecuali hanya debu tipis selalu menyelimutinya.

Kini aku tak tau bapak di mana. Sejak kejadian 10 tahun silam itu aku, baik bapak dan ibu hidup sendiri-sendiri. Walau kadang aku kerap bertanya. Mencari kesana-kemari di mana bapak tinggal bersama adik. Sedang ibu selalu ku temui, karena jarak rumah kita tak jauh.

Saat angin berhembus ke pikiran, kadang aku ingin bertanya pada ibu. Apakah beliau tau atau mungkin memikirkan adik dan bapak. Namun aku tak berani. Aku takut ibu akan melampiaskan kemarahanya padaku. 

Pada masa yang panjang itu, aku mencoba mencari di mana bapak berada. Aku mencoba mendatangi kawan sejawat bapak. Apakah beliau tahu di mana bapak dan adik tinggal? Ku susuri panjangnya jalanan berliku, melewati setiap batas. Perbatasan pun telah ku lalui. Hingga akhirnya aku singgah di gubuk tua yang di depan rumahnya dihiasi banyak sangkar burung. 

Aku mencoba bertanya. Di sana merupakan kediaman Mbah Djie. Ia salah seorang sosok yang kadang bapak dapatkan banyak ilmu darinya. 

Ku ketuk pintu rumahnya. Dengan salam yang mengiringi. Beliau membuka daun pintu itu. Sebelum aku mengutarakan maksudku padanya, beliau tiba-tiba memberikan sebuah surat agak tebal dan menyuruhku segera pulang. Tanpa sepatah kata aku meninggalkanya. Mbah Djie memang agak sedikit misterius, sehingga aku dibuat kebingungan oleh nya.

Aku langsung bergegas pulang. Aku ingin membaca surat itu di rumah ibu. Aku harap ibu berada di rumah. Ternyata rumah terlihat sepi, hanya ada kursi goyang yang kini hanya menjadi benda koleksi. Layaknya di museum. Ku buka amplop yang usang itu dengan saksama. Betapa kagetnya aku. Bapak menuliskan surat itu begitu panjang. Beliau mengkisahkan mengapa beliau berpisah dengan ibu. Kata bapak di kursi goyang inilah semua berawal. Bapak hanya ingin melihat saat-saat mesra bersama ibu dulu. Namun sayang, saat ibu mengandung adik, ibu pernah terjatuh karena kursi goyang itu. Entah, mungkin saja itu adalah yang membuat kandungan janin itu bermasalah. Di sanalah ibu mulai was-was dan benci. Di satu sisi pada saat kejadian itu bapak sedang tidak di rumah.

Bapak hanya ingin melihat ibu bahagia. Beliau ingin selalu melihat saat ibu menerbitkan senyum dari ufuk bibirnya dan menenggelamkan senyum manis pada bapak. Tapi sungguh sayang semua berawal dari kursi itu dan berakhir pula di sana. Pada penutup surat itu aku tak kuasa membendung air mata untuk tidak segera tumpah. Bapak menuliskan bahwa "kau tak usah mengkawatirkan ku. Sekarang aku dan adik mu telah pergi jauh sejauh-jauhnya. Aku telah terpendam sedalam-dalamnya".

Saat aku dirundung tangis. Seseorang menepuk pundaku. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia adalah ibu. "ternyata bapak dan adik mu telah tiada sejak lama. Ibu benar-benar berdosa terhadap mereka". Beliau begitu menyesal, orang yang selama ini selalu sabar, ternyata harus menelan pil pahit kesalahpahaman.

Tapi sungguh sayang, kini bapak telah tiada. Beliau telah tertanam dalam tanah yang mengakar, sedang taburan bunga di atas pekuburanya masih tercium harum sampai ke sanubari. Beliau selamanya akan kami ingat sebagai pribadi yang bersahaja. Walau kini hanya menyisakan puing kenangan bersandar pada sebuah kursi yang tak berhenti bergoyang.

Hari ini aku mengenangnya kembali. Di kursi tua ini lah semua kenangan dan kebaikan bapak bersemayam. Semoga aku bisa meneladani bapak.

Sumber gambar internet my.best.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde