Langsung ke konten utama

Creative Writing: Seni Meningkatkan Kualitas Diri




Woks

Beberapa di antara kita masih percaya dengan mitos bahwa menulis itu sulit. Menulis itu tidak semudah apa yang diucapkan. Pernyataan demikian itu memang tidak salah akan tetapi tidak juga selalu benar jika kita menemukan benang merahnya. Padahal menulis itu mudah jika kita mampu mengaplikasikan rumusnya.

Rerata orang merasa kesulitan menulis karena mereka belum menyadari bahwa permasalahan tidak sepatutnya menjadi ancaman. Justru rangkaian permasalahan bisa menjadi bahan tulisan. Permasalahan justru akan membiasakan seseorang untuk tumbuh lebih dewasa. Di tangan orang kreatif segala hal bisa menjadi bahan tulisan bahkan sekadar rumput yang bergoyang.

Di sinilah perlunya menjadi penulis kreatif yang melihat sesuatu bukan sebagai masalah melainkan peluang. Orang kreatif selalu memunculkan ide segar walaupun di kondisi yang tidak menguntungkan. Soal kebuntuan ide misalnya para penulis kreatif tak kehabisan akal mereka akan selalu mengakses alam dan sosial sebagai sumber ide yang kaya.

Creative writing sejatinya ingin mengajak kita untuk menghasilkan produk tulisan secara kreatif. Produk tulisan di antaranya seperti artikel, sastra, naskah, skenario, berita, riset, dan lainya ditulis dengan kreativitas. Selama ini daya kreatif selalu identik dengan produk sastra padahal tulisan genre lainnya pun memerlukan sentuhan kreatif. Tapi tidak salah juga bahwa sastra dengan penghayatan imajinatif memang sangat memacu kreativitas.

Menulis kreatif selalu berhubungan dengan ide, inspirasi dan gagasan. Sedangkan kendala menulis salah satunya adalah kebuntuan inspirasi. Dengan begitu lewat imaji kreatif sebenarnya bisa sangat mudah menuangkan tulisan. Cara-cara kreatif penulis satu dengan lainnya tentu berbeda misalnya para penulis sastra sekaliber Andrea Hirata, Eka Kurniawan, Okky Madasari, Asma Nadia, Tere Liye, Ahmad Fuadi, Habiburrahman El Shirazy dan lainya tentu memiliki proses kreatifnya tersendiri.

Selain jam terbang berupa pengalaman, bacaan, sharing hingga teknik mereka juga memiliki tips tersendiri dalam menghasilkan karya-karyanya. Tips kreatif menulis tersebut tentu berguna ketika problem datang seketika seperti stug atau kehilangan ide, kesulitan mengembangkan tulisan, mager, putus asa hingga moodnya turun. Cara-cara kreatif tentu ditempuh oleh setiap penulis misalnya dengan traveling untuk menemukan ide segar, bercengkrama di masyarakat demi mendapatkan objektivitas sampai kontemplasi ke tempat keramat demi pencerahan.

Hal-hal kreatif juga berlaku bagi penulis akademik misalnya Prof Yudian Wahyudi menulis di saat waktu tahajud. Bagi beliau waktu sepertiga malam tersebut idenya sedang deras mengalir maka menuliskannya merupakan keharusan. Prof Mujamil Qomar menulis ketika diangkutan umum. Prof Imam Suprayogo menulis setiap hari setelah shubuh tanpa putus. Prof Ngainun Naim menulis tiap hari berbasis blog. Atau gaya menulis seperti Hernowo Hasyim dengan konsep ngemil artinya beliau bisa menulis dengan mencicil. Beliau menulis satu paragraf lalu dilanjutkan nanti, terus demikian.

Menulis kreatif sesungguhnya tidak kenal dalih, beralasan atau nada sumbang lainya. Dalam keadaan apapun bisa dimanfaatkan untuk menulis. Para pesohor baik penulis sastra maupun akademik juga selalu punya jurus jitu dalam melawan kemalasanya. Bahkan M. Chori (Pak Emcho) dosen UNESA Surabaya punya kaidah S.O.S alias sopo ra sibuk. Bagi beliau jika sekadar alasan sibuk tentu mayoritas orang sibuk akan tetapi kadang kala di tengah kesibukan justru menemukan jalan. Banyak orang sukses justru lewat kesibukannya, contoh Prof Kuntowijoyo justru lebih sukses produktif pasca 2 tahun terpuruk dari sakitnya.

Di tengah kesibukannya Gus Dur, Cak Nun bahkan masih mampu menulis beragam topik dengan begitu berbobotnya. Gunawan Mohamad di tengah kesibukannya memimpin Tempo ia selalu menulis Caping dengan tidak pernah kehilangan sentuhan artistiknya. Penulis perempuan seperti Nyai Hj. Mariah Amva, Ning Khilma Anis, Prof Musdah Mulia, Dr Nur Rofiah, Lies Marcos, Dee Lestari, Asma Nadia, Afifah Ahmad di tengah mengurus keluarga mereka juga masih terus produktif dalam menulis. Jadi kerja-kerja akademik seperti menulis memang tak pernah berkesudahan. Oleh karenanya ada proses kreatif dari masing-masing penulis yang berlaku.

Maka dari itu mari budayakan membaca dan menulis. Kerahkan semua daya imajinasi dan gairah keberaksaraan dengan spirit kreativitas. Terlalu banyak hal indah yang terlewatkan jika kita tidak berupaya menuliskanya. Bukankah dunia ini dikenal karena tulisan. Sekalinya sejarah tidak menulis maka dunia kembali asing. Dengan menulis berarti kita tengah membangun jembatan agar hidup lebih terasa bermakna. Dengan menulis kita turut dalam mengkomunikasikan gagasan. Mari menulis, mari bicara.


*Disampaikan dalam Diklat & Diskusi Kepenulisan bersama OSIS SMA Gunung Jati PPHM Ngunut Tulungagung.

the woks institute l rumah peradaban 16/3/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde