Langsung ke konten utama

Rihlah ke Kota Tahu: Ngalap Berkah Mbah Sholeh Banjarmlati




Woks

Sejak shubuh mentari belum menampakan sinarnya dan waktu masih nampak seperti malam. Kabut pekat serta hawa dingin masih menyelimuti akan tetapi aku sudah melaju pagi itu. Dengan meminjam motor teman aku berangkat dari pondok menuju Kediri tepatnya ke LPI Al Mubarok Banjarmlati.

LPI Al Mubarok adalah lembaga pendidikan tahfidz dan panti asuhan yang didirikan oleh ustadz kami yaitu ustadz Saifuddin Zuri. Beliau merupakan guruku ketika di LPI Al Azhaar dan di Perumahan Permata Kota Bago. Setelah mendapat undangan dari beliau aku langsung meluncur ke sana. Tujuanku sederhana yaitu silaturahmi dan niat tabarukan. Akan tetapi ketika di sana aku mampir untuk ziarah dan hal itu merupakan bonus dari niat yang berganda.

Motor melaju dengan kecepatan sedang. Sesampainya di daerah Tambak Ngadi Mojo Kediri perjalanan ku harus terhenti karena guyuran hujan. Tapi untungnya motor ku sudah terparkir di pelataran Makam Auliya Tambak tempat waliyullah Gus Miek disarekan. Di sana aku langsung berziarah, bertamu di pusara beliau yang berdampingan dengan Ibu Nyai Lilik (Nyai Miek). Tidak lupa pula aku juga sowan untuk sekadar menghadiahkan fatihah kepada KH. Ahmad Shiddiq (Jember) dan qori idola KH. Muqorrobin Abdillah Rasyad (Gus Muqorrobin).




Ohh iya sedikit keterangan bahwa Gus Miek adalah mursyid tunggal aurad Dzikrul Ghofilin dan pendiri Sema'an Qur'an Jantiko Mantaba. Sedangkan KH. Ahmad Shiddiq adalah Rais Aam era Gus Dur di periode ke-3, beliau juga salah satu sesepuh Dzikrul Ghofilin bersama Mbah Hamid Pasuruan. Lalu Gus Muqorrobin adalah qari Jantiko Mantab edisi pertama dan sangat dibanggakan oleh Gus Miek.

Setelah itu motor ku melaju langsung tancap gas menuju TKP yaitu LPI Al Mubarok Banjarmlati Kediri. Setelah sampai di sana ternyata jam masih menunjukkan pukul 07:15 sedangkan acara dimulai jam 08:00 lalu aku memutuskan untuk mencari masjid terdekat. Ku pacu motor dengan pelan hingga akhirnya aku melihat plang atau numboard bertukiskan "makam mbah Sholeh". Langsung seketika aku teringat, ya Allah ini mbah Sholeh Banjarmlati. Akhirnya aku putuskan singgah di makam beliau kebetulan pas di barat Masjid Al Iman Gondak.




Ohh iya setelah aku membaca tahlil di makam beliau. Kebetulan makam pagi itu masih sepi dari peziarah. Sekadar informasi bahwa Mbah Sholeh merupakan ulama yang hidup sezaman dengan Syaikhona Kholil Bangkalan. Beliau merupakan sesepuh Kediri pada saat itu sehingga beliau adalah sosok yang sangat dihormati. Beliau merupakan mertua yang melahirkan banyak pondok pesantren besar di Kediri. Putra-putri beliau dinikahkan dengan Mbah Abdul Karim (pendiri Lirboyo), Mbah Ma'ruf Kedunglo, Mbah Dahlan (ayah Syeikh Ihsan Jampes), serta beberapa kiai pendiri pondok Batokan, Pucung, Bandar kidul, Gurah dll.

Setelah berziarah dari Mbah Sholeh aku langsung menuju ke tempat ustadz Saifuddin. Alhamdulillah di sana aku diterima dengan baik dan mengikuti acara hingga usai. Tak lupa pula sebelum pulang aku sempatkan menyantap hidangan yang telah disediakan tuan rumah. Setelah acara usai aku langsung tancap gas karena berpacu dengan waktu.




Agenda selanjutnya padahal ingin sekali bisa berziarah ke makam Mbah Abdul Karim Lirboyo tapi sayang sekali waktu tidak begitu tepat. Padahal di sekitar daerah Mojoroto banyak wali yang sebenarnya ingin aku singgahi di antaranya Mbah Mubasyir Mundzir Maunah Sari dan Mbah Ma'ruf, Mbah Abdul Majid Ma'ruf Kedunglo. Tapi apa mau di kata aku langsung bertolak menuju Tulungagung karena sepertinya akan segera turun hujan.

Dalam perjalanan kali ini aku sangat menikmati. Walaupun belum sempat ziarah makam Mbah Abdul Karim akan tetapi rasanya sudah terbayar tuntas. Aku dapat rihlah ke daerah santri tersebut seorang diri. Yang membuatku berkesan tentu sepanjang jalan disuguhi pemandangan berupa bentang alam dan lingkungan pondok. Sejak dari Ploso aku melihat santri berlalu lalang, di pondok Mayan, sampai di Lirboyo pusat. Ahh rasanya sangat damai sekali melihat pemandangan tersebut. Semoga saja esok bisa ke kota tahu lagi mungkin sekadar menghadiahkan fatihah buat para wali di sana.

the woks institute l rumah peradaban 2/3/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde